Senin 16 Jan 2023 16:01 WIB

Kemunculan Fenomena Bughat Dinilai Ancam Stabilitas Negara

Jika pemerintah zalim, masyarakat wajib memberikan pendapat dan nasihat.

Bughat (ilustrasi)
Foto: punkway.net
Bughat (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Wakil Direktur Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Andi Aderus, turut memprihatinkan munculnya fenomena pembangkangan terhadap negara (bughat) baik yang berbentuk narasi ataupun tindakan melawan pemerintah, yang dinilai dapat mengancam stabilitas negara.

"Lebih berbahaya lagi, bughat yang dilakukan bukan lagi dalam konteks perorangan, namun dalam konteks kelompok atau organisasi yang memiliki pemimpin yang ditaati, serta lebih berbahaya lagi jika sudah memiliki kekuatan. Kekuatan yang dimaksud bisa berarti kekuatan politik atau bahkan kekuatan militer dengan persenjataan dan kemampuan perang yang telah dilatih," ujar Andi akhir pekan lalu.  

Ia melanjutkan, sejatinya narasi-narasi pembangkangan sudah bisa dikatakan sebagai bughat. Sebab, bughat sendiri bisa terbagi ke beberapa tingkatan yang bisa dikategorikan tergantung dari tingkat pembangkangannya.

"Ada pelaku bughat yang bisa dibina dengan narasi-narasi yang dapat merubah cara pikirnya atau untuk menetralisasi pikirannya, ada pula pelaku bughat yang harus ditangani melalui pembinaan khusus," ujarnya.

Menurut dia, Islam mengajarkan bahwa ketaatan terhadap pemerintah itu adalah hal yang wajib. Alquran menjelaskan bahwa ketaatan terhadap pemerintah itu ada secara paralel karena ada taat pada Allah, taat pada rasul, lalu kemudian taat pada ulil amri, atau dalam konteks bernegara dimaknai sebagai pemerintah yang sah.

"Ketaatan pada pemerintah merupakan hal yang penting karena menyangkut kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," jelas pria yang juga menjabat sebagai Ketua Pengurus Wilayah Darud Da’wah Wal Irsyad Sulawesi Selatan (PW DDI Sulsel) ini.

Andi Aderus menilai bahwa perilaku bughat sebagai tindakan yang mengganggu stabilitas negara, sekaligus mengganggu stabilitas perekonomian, serta pada saat yang sama masyarakat jadi tidak bisa hidup dalam perdamaian. Hal inilah yang menjadikan perlunya deteksi dini terhadap hal-hal yang mengarah terhadap perbuatan bughat.

"Begitu pentingnya ketaatan pada pemerintah yang sah, seringkali digambarkan dengan perumpamaan bahwa terhadap pemerintah yang zalim saja kita dilarang untuk melakukan pembangkangan," ucapnya.

Pasalnya, ketidaktaatan terhadap pemerintah telah menunjukkan dampak besar di beberapa negara timur tengah. Sebagai contoh Libya, yang pernah memiliki pemimpin yang bernama Muammar Gaddafi, merupakan sosok yang dibenci oleh rakyatnya dan dampaknya jadi jauh lebih buruk di negara itu dan akhirnya semua jadi menyesal.

"Contohnya kondisi negara Libya saat ini pun jadi butuh waktu yang lama untuk kembali normal. Setidaknya butuh puluhan bahkan mungkin ratusan tahun untuk mengobati dampak dari pembangkangan terhadap pemimpinnya sendiri," ujar Pimpinan Pondok Pesantren DDI Pattojo Kabupaten Soppeng ini.

Dijelaskannya, dalam pandangan Ahlussunnah wal Jamaah, andai kata pemerintah yang menaungi masyarakat memang zalim, maka masyarakat hanya wajib untuk memberikan pendapat dan nasihat kepada mereka tanpa melakukan pembangkangan.

"Karena justru dengan pembangkangan itu akan berdampak jauh lebih buruk terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara kita," ujar pria yang aktif sebagai Ketua Ikatan Cendekiawan Alumni Timur Tengah (ICATT) periode 2020-2024 ini.

Sehingga, Andi menyebut dalam menyampaikan masukan, nasihat, ataupun saran terhadap pemerintah bisa dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang baik, jangan dengan menggunakan narasi-narasi yang dapat mencabik-cabik perasaan dan persaudaraan sebangsa dan setanah air.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement