REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komaruddin menilai dibutuhkan kerja keras dalam upaya meningkatkan literasi pemilih agar mampu melihat kapabilitas dan kompetensi dari para kandidat. Menurutnya, pemilih Indonesia bisa dikategorikan menjadi pemilih rasional yang mendasarkan pada visi-misi, program, kinerja, rekan jejak, gagasan, dan catatan baik dari kandidat.
"Pemilih rasional akan meningkat ketika politik gagasan mengemuka. Ketika politik Indonesia sudah mulai mengedepankan adu program, adu gagasan, maka pemilu akan menghadirkan politik ide dan gagasan sehingga pemilih rasional akan lebih menonjol menguat," kata Ujang dalam keterangan, Senin (16/1).
Namun jika selama ini pemilih masih emosional dan dimobilisasi, maka rasionalitas akan terbelakang. Politik gagasan dinilai tidak akan menjadi prioritas.
Sementara di sisi lain, ada pemilih emosional yang akan menjatuhkan pilihan berlandaskan kedekatan, kharismatik, ataupun hubungan keluarga.
"Pemilih kita ini anggap bagi dua, pemilih yang rasional, juga pemilih yang emosional. Mudahnya seperti itu," ucapnya.
Kemudian ia melanjutkan ada pemilih dimobilisasi. Pemilih jenis itu hanya akan peduli pada pemberian. Bagi mereka, janji, visi-misi, gagasan adalah sekedar bohong, bual-bualan saja. Yang dipilih ialah yang memberikan sesuatu.
"Pemilih juga ada, istilah saya, dimobilisasi atau dibeli. Nah, pemilih kita ini masih banyak yang dibeli. Dimobilisasi lalu dibeli," katanya.
Ujang berpandangan mayoritas pemilih yang belum rasional juga menjadi penyebab maraknya politik uang. Masyarakat Indonesia juga belum memilih berdasarkan visi-misi, ide gagasan,dan program, tetapi lebih parah lagi dimobilisasi.
"Karena itulah pemilu kita banyak money politics yang TSM (terstruktur, sistimatis, masif-Red) dan itu terjadi pada setiap pemilu secara terus-menerus. Bahkan 2024 juga akan semakin masif," ungkapnya.