REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Bank Indonesia (BI) DIY menyebut mayoritas warga DIY telah memiliki pekerjaan yang menghasilkan pendapatan. Kepala Perwakilan BI DIY, Budiharto Setyawan menilai hal tersebut mendorong membaiknya kesejahteraan di DIY.
Budi menyebut, tingkat pengangguran di DIY berkisar di angka 4,06 persen berdasarkan data pada Agustus 2022. Menurutnya, angka ini tergolong sangat baik mengingat jauh di bawah rata-rata nasional yakni 5,86 persen.
"Bila dilihat dari struktur lapangan pekerjaan, mayoritas pekerjaan masyarakat DIY adalah UMKM dan didominasi oleh tenaga kerja sektor informal yang mencapai 53,38 persen," kata Budi di Yogyakarta, Jumat (20/1).
Meski sebagian besar warga DIY sudah memiliki pekerjaan, namun secara statistik kemiskinan DIY masih tinggi berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Pada Januari 2023 ini, BPS menyampaikan bahwa persentase penduduk miskin di DIY meningkat menjadi 11,49 persen jika dibandingkan dengan posisi Maret 2022 yakni 11,34 persen.
Dengan begitu, DIY menduduki peringkat ke-12 provinsi dengan kemiskinan tertinggi di Indonesia, dan menjadi provinsi termiskin se-Pulau Jawa.
"Hal ini disebabkan oleh dua hal yakni, pola konsumsi masyarakat DIY cenderung sederhana, dan metode pengukuran statistik belum sepenuhnya bisa menggambarkan purchasing power parity masyarakat DIY yang sebenarnya," ujar Budi.
Budi menuturkan, pola konsumsi masyarakat DIY cenderung unik, yang relatif berbeda dibandingkan daerah lain. Ia menilai, mayoritas masyarakat DIY memiliki budaya yang kuat dalam menabung, dibandingkan dengan konsumsi.
Hal ini tercermin dari tingkat simpanan masyarakat di bank yang selalu lebih tinggi dibandingkan tingkat kredit. Secara rata-rata, rasio kredit dibandingkan dengan simpanan (loan to deposit ratio/LDR) rumah tangga di DIY dalam 10 tahun terakhir berkisar 66,78 persen, yang berarti masih rendah apabila dibandingkan dengan rasio ideal 80-90 persen.
"Kondisi demikian terus menjadi problem secara statistik, karena penduduk dikategorikan miskin apabila rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Dengan demikian, semakin rendah pengeluaran penduduk maka akan semakin dekat dengan kemiskinan," jelasnya.
Lebih lanjut Budi menjelaskan bahwa kesenjangan pendapatan yang didekati dengan pengeluaran penduduk lokal dengan penduduk pendatang juga sangat tinggi. Kesenjangan pengeluaran ini didominasi oleh produk tersier.
Mayoritas penduduk pendatang melakukan pengeluaran yang signifikan lebih besar. Utamanya untuk produk makanan jadi, sewa rumah, maupun produk gaya hidup, seperti perawatan kecantikan dan kesehatan.
"Kesenjangan pengeluaran ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ketimpangan di DIY menjadi tinggi. Hal tersebut tercermin dari tingkat gini ratio DIY yang mencapai 0,459 (pada September 2022) tertinggi se-Indonesia," ujar Budi.
Meski begitu, jika pertumbuhan ekonomi diukur dengan menggunakan indikator Produk Domestik Bruto (PDRB), Budi menyebut bahwa DIY telah memasuki masa pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19. Akumulasi PDRB DIY triwulan I hingga triwulan III 2022 atas dasar konstan telah berada pada level Rp 83,58 triliun, atau meningkat 4,68 persen (ctc) dibandingkan akumulasi PDRB triwulan I hingga Triwulan III 2021.
"Level PDRB dimaksud bahkan telah melampaui akumulasi PDRB triwulan yang sama tahun 2019 sebesar Rp 74,79 triliun. Apabila pencapaian tersebut digunakan sebagai ukuran keberhasilan, maka DIY menjadi salah satu provinsi yang mengalami pemulihan tercepat di Indonesia," lanjutnya.