Senin 23 Jan 2023 20:56 WIB

Soal Biaya Nyalon, Ini Kata Kades Banyubiru

Pengenalan calon kades tidak cukup hanya dengan waktu satu tahun,

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yusuf Assidiq
Warga menggunakan hak pilihnya pada pemilihan kepala desa (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Muhammad Bagus Khoirunas
Warga menggunakan hak pilihnya pada pemilihan kepala desa (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  UNGARAN -- Ajang pemilihan kepala desa  dalam pelaksanaannya hampir mirip dengan pemilihan bupati maupun pemilihan gubernur. Hanya saja lingkup wilayahnya lebih kecil karena hanya di satu desa.

Namun pada pilkades gesekannya jauh lebih rawan dan suhunya juga akan lebih panas, karena konflik sosialnya head to head (langsung saling berhadapan) dan semua warga, kerabat, juga saudara sendiri.

“Bahkan satu saudara pun bisa ‘pecah’, hanya karena beda afiliasi calon,” ungkap Kepala Desa Banyubiru, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Sri Anggoro Siswaji, Senin (23/1/2023).

Ia menjelaskan, untuk sosialisasi dan pengenalan pun, calon kepala desa juga tidak jauh bebeda dengan calon wakil rakyat maupun kepala daerah. Tidak bisa dipungkiri, untuk memperkenalkan seseorang butuh sosialisasi dan sosialisasi pun juga butuh, istilah sekarang, pencitraan.

Baik itu melalui foum-forum warga, ada yang lewat pemberian bantuan, lewat acara sosial seperti datang ke empat warga yang punya hajat seperti kematian, acara kerja bakti, dan lainnya.

Pengenalan itu juga tidak cukup hanya dengan waktu satu tahun, bahkan bisa tiga tahun sebelumnya sudah dilakukan. Sehingga biaya untuk pertemuan menarik warga dan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan jika diakumulasi sebenarnya cukup besar. 

Terlebih jika bakal calon kades yang bersangkutan belum pernah berkecimpung dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Belum lagi untuk membentuk tima pemenangan dan relawan. “Makanya biaya untuk membangun pondasi pengenalan ini sangat mahal jika diakumulasi,” jelasnya.

Belum lagi kalau sudah mau mendekati juga ada open house atau kalau istilah desa ‘nggabah’, Sehingga sebenarnya tidak bisa dihitung, apalagi kalau jumlah pemilihnya banyak, seperti di Desa Banyubiru yang mencapai 5.500 jiwa.

“Mialnya, kalau mau menyediakan rokok dalam gelas, sudah ketinggalan zaman dan paling tidak juga harus pak-pakan, lalu menyediakan kopi juga tidak bisa kopi asal-asalan dan sekarang ini realistis,” lanjut dia

Untuk penyelenggaraan pilkades, lanjut Sri Anggoro, memang sudah dicover APBD dan APBDes. Tetapi biaya yang personal ‘jujur’ sangat besar, terlebih kalau ada rivalitas.

Yang susah, lanjut dia, manakala setelah dilantik dalam waktu tiga bulan berikutnya, kades sudah harus membuat RPJMDes untuk enam than ke depan. Selama itu juga harus bisa merajut semua elemen warga.

Padahal suasana panas usai pesta demokrasi masih terasa. Padahal dalam menyusun RPJMDes ini harus turun dari satu kampung ke kampung yang lain. “Nah mencairkan penolakan-penolakan dari simpatisan maupun pendukung rival ini yang cukup berat,” tegasnya.

Ia juga menyampaikan, dahulu sebenarnya masa jabatan kades itu delapan tahun, kemudian dengan terbitnya Undang Undang Desa menjadi enam tahun.

Sekarang teman-teman aspirasinya sembilan tahun. “Sebenarnya itu kan konsolidasi untuk mendinginkan suhu politik panas antar warga. Setelah itu baru bisa konsentrasi untuk pembangunan, penataan struktural perangkat desa dan yang lainnya,” kata Sri Anggoro.

Makanya kalau ada komentar, nanti jika masa jabatan kades sembilan tahun, kaderisasinya akan ‘mati’ menurutnya juga kurang tepat. “Karena sebelum republik ini ada pemilihan, kita (desa) itu sudah melaksanakan pemilihan,” tegasnya.

Demikian pula yang berpendapat ini akan melanggengkan kekuasaan di desa, nanti dana desa tidak efektif karena ada kongkalikong, dan lainnya. Padahal sekarang penggunaan keuangan desa pun sudah nontunai dan pengawasannya juga berjalan.

Ada mekanisme penawaran, ada pengawasan dan semua arahannya adalah transparansi. Bahkan kalau bicara linier pengawasan ada Inspektorat, BPK, ada BPKP, bahkan juga KPK. Semetara yang non linier itu ada LSM ada masyarakat.

Makanya sekarang yang penting adalah bagaimana membangun komunikasi dan masyarakat diberikan keleluasaan, baik untuk menyampaikan aspirasi melalui rapat, rembug desa, atau juga melalui kanal pelaporan dan pengaduan.

Sehingga sebenarnya tinggal masing-masing desa punya keinginan untuk membangun integritas. “Karena era sekarang arahnya semua menuju pengelolaan pemerintahan yang berintegritas dan dapat dipertanggungjawabkan,” tegas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement