REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Provinsi DIY menjadi termiskin di Pulau Jawa berdasarkan rilis yang disampai Badan Pusat Statistik (BPS) di Januari 2023. Perhitungan tingkat kemiskinan oleh BPS salah satunya merujuk pada garis kemiskinan makanan.
Dari data BPD tercatat bahwa garis kemiskinan makanan di DIY lebih mendominasi dibandingkan garis kemiskinan non makanan. Komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp 398.363 atau 72,25 persen, dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp 152.979 atau 27,75 persen.
Pemda DIY pun diminta untuk fokus pada pemenuhan kalori warga miskin oleh DPRD DIY. Terutama di Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Gunungkidul, yang mana tingkat kemiskinannya tercatat paling tinggi.
Menanggapi hal ini, ahli gizi dari Universitas 'Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Agung Nugroho mengatakan, pemenuhan rata-rata kalori yang dianjurkan yakni 2.100 kalori per kapita per hari. Memang, kata Agung, jumlah tersebut yang digunakan oleh BPS dalam mengukur tingkat kemiskinan suatu daerah.
"Rata-ratanya memang segitu kalau kita ambil untuk orang dewasa angka kecukupan gizinya yang dianjurkan. Dan itu setiap lima tahun juga di-update data tersebut berbasis riset yang dilakukan di Indonesia. Angka kecukupan gizi tiap negara itu berbeda-beda, kalau di Indonesia merujuk pada 2.100 itu," kata Agung kepada Republika, Selasa (24/1).
"Kalau yang garis kemiskinan itu disetarakan dengan 2.100 kalori per kapita per hari. Itu paket komoditi dasar yang ditanyakan di dalam survei (BPS) itu, itu terdiri dari 52 jenis komoditi. Itu ada padi-padian, umbi-umbian, daging, telur, susu, kacang-kacangan dan seterusnya," tambah Agung.
Jumlah anjuran kalori tersebut disesuaikan untuk kebutuhan seseorang dalam berkegiatan sehari-hari, dalam hal ini dewasa atau usia produktif. Jika pada bayi atau balita, ataupun lansia, bahkan orang yang tidak sehat, maka kebutuhan kalorinya tentu akan berbeda.
"Tetapi kalau dalam konteks penghitungan garis kemiskinan itu memang diambil average pakai 2.100 kalori per kapita per hari. Itu merujuknya dalam kondisi normal, tidak dalam kondisi sakit, atau hamil dan lain sebagainya," ujar Agung yang juga Ketua Prodi Gizi Unisa Yogyakarta tersebut.
"Kalau yang disurvei anak, lansia dan sebagainya itu kan akan sangat berbeda tujuan surveinya. Maka diambilnya secara average pengeluaran setara dengan 2.100 kalori itu," katanya.
Terkait dengan fokus pemenuhan kalori warga miskin di Kulon Progo dan Gunungkidul, menurutnya di kawasan tersebut justru akses terhadap pemenuhan kalorinya lebih mudah. "Kalau kabupaten diminta perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan kalori, kebutuhan kalori ini aksesnya banyak. Orang bisa mengkonsumsi kalau mereka punya akses, aksesnya itu bisa dari sisi harga gimana, dari sisi ketersediaan gimana, dari sisi produksi gimana, dari sisi distribusi gimana," jelasnya.
Meski di Kabupaten Kulonprogo dan Gunungkidul pendapatan maupun pengeluaran masyarakat kecil, mengingat UMR yang lebih rendah dibanding kabupaten/kota lainnya di DIY, namun bukan berarti kalorinya tidak tercukupi.
"Kalau di dua wilayah itu walaupun mereka secara pendapatan dan pengeluaran kecil, tapi kalau mereka mempunyai akses karena punya lahan yang bisa ditanami tanaman pangan kan bisa saja. Karena konversi kalori tidak hanya bahan makanan sumber karbohidrat, tetapi dari daging yang kemudian protein itu dikonversi menjadi kalori juga dari lemak, minyak dan seterusnya," lanjut Agung.