REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho menilai hukuman kebiri kimia bagi para pelaku kekerasan seksual harus segera dieksekusi. Langkah itu guna memberikan efek jera sehingga kasus pencabulan atau kekerasan seksual dapat diminimalisasi.
Saat dikonfirmasi di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed itu mengaku prihatin karena kasus pencabulan terhadap anak yang mengarah pada kekerasan seksual marak terjadi di berbagai daerah, termasuk di Banyumas.
"Masalah pencabulan saya kira suatu kejahatan yang cukup serius. Artinya memang ini tidak hanya cukup diantisipasi oleh penegak hukum (khususnya) polisi," katanya.
Menurut dia, terjadinya kasus pencabulan juga harus diantisipasi oleh tokoh masyarakat maupun tokoh agama termasuk para orang tua. Dalam hal ini, peran orang tua dan masyarakat untuk mencegah terjadinya pencabulan itu sangat penting serta menjadi peran yang sangat ditunggu-tunggu.
"Bukan sekarang tidak (tidak ada peran, red.), tetapi pertanyaannya kenapa terjadi. Apakah orang tua lengah, apakah guru lengah, apakah tokoh masyarakat lengah," tegasnya.
Selain itu, imbuh dia, meningkatnya kasus pencabulan tersebut apakah juga karena perkembangan teknologi informatika, sehingga masyarakat bisa melihat perkembangan-perkembangan yang kadang-kadang cenderung vulgar.
"Itu bisa terjadi, tapi kita jangan menyalahkan teknologi informatika-nya karena piranti itu sebenarnya untuk mempermudah, yang bermasalah itu kan orangnya (salah dalam memanfaatkan teknologi informatika, red.)," ujar Prof Hibnu.
Oleh karena itu, kata dia, kondisi saat sekarang merupakan keadaan yang sangat genting sebab pencabulan juga merupakan bagian dari kekerasan seksual.
Terkait dengan hal itu, dia mengatakan peran gotong royong pada semua lini, baik masyarakat, orang tua, maupun polisi harus bahu-membahu dalam penanggulangan kekerasan seksual, apalagi yang berkaitan dengan pencabulan di lingkungan sekolah, pesantren, dan sebagainya.
"Itu suatu yang sudah sangat mengkhawatirkan," tegasnya. Lebih lanjut mengenai ancaman pidana bagi pelaku kekerasan seksual, Prof Hibnu mengatakan hal itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak beserta perubahannya, yakni dengan hukuman kebiri kimia.
Menurut dia, pelaksanaan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Akan tetapi dengan masih maraknya kasus pencabulan atau kekerasan seksual, kata dia, berarti ancaman hukuman kebiri kimia tersebut belum memberikan efek jera.
"Artinya, dalam penegakan hukum itu harus juga dibarengi sinergisitas. Penegakan hukum itu bagian dari ikhtiar, ikhtiar bagi negara ketika orang melakukan kejahatan pencabulan, ya dihukum," jelasnya.
Kendati demikian, dia mengatakan hingga saat ini belum ada eksekusi terhadap hukuman kebiri kimia di Indonesia. Menurut dia, penegak hukum sudah berpikir melompat dengan menjatuhkan hukuman kebiri terhadap sejumlah pelaku kekerasan seksual, namun sampai sekarang belum ada eksekusi atas vonis tersebut.
"Jadi, eksekusi berupa hukuman kebiri kimia harus dilaksanakan agar masyarakat tahu kalau ancaman hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual memang ada, sehingga diharapkan bisa memberikan efek jera," kata Prof Hibnu.