REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar tata ruang dan transportasi Universitas Airlangga (Unair) Siti Aminah mengingatkan, electronic road pricing (ERP) atau sistem jalan berbayar yang rencananya diterapkan di Jakarta tidak boleh dilakukan dengan gegabah. Menurutnya, pemberlakuan ERP memerlukan kajian dari berbagai aspek. Artinya tidak sekadar berfokus untuk memecahkan masalah kemacetan dan hitungan ekonomi bisnis.
"Namun, terdapat aspek-aspek lain yang perlu dipertimbangkan dan diperhatikan. Aspek energi, keberlanjutan pembangunan, aspek perilaku pengguna mobil, aspek mobilitas, dan lain-lain," kata Aminah, Kamis (2/2/2023).
Aminah menerangkan, sejak 1992, Pemprov DKI Jakarta telah berupaya mencari solusi untuk memecahkan kemacetan lalu lintas tanpa merugikan pengguna jalan dan pemilik kendaraan bermotor, baik mobil ataupun sepeda motor. Semua penduduk, kata dia, mempunyai hak untuk menggunakan jalan dan dilayani kebutuhan untuk melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat lain.
"Jalan itu barang publik. Jika jalan sudah dijual kepada masyarakat atas nama mengatasi kemacetan, mengurangi polusi, bagaimana dengan kehadiran taksi-taksi online? Berapa harga yang harus dibayar oleh pengguna taksi?" ujarnya.
Aminah menegaskan, ERP bukan hanya skema yang muncul secara politis maupun administratif. Berbagai solusi dibutuhkan untuk mengatasi krisis lingkungan yang menantang perkembangan Jakarta. Sementara di sisi lain, perdebatan dan kontroversi sensitif terkait privasi individu dalam melakukan mobilitas menjadi agenda tersendiri yang perlu juga memperoleh perhatian dari para pemangku kebijakan.