REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi VIII DPR RI mengaku kecewa dengan kinerja Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang sejak didirikan lima tahun lalu masih belum bisa menggandakan nilai manfaat haji. Ini yang menyebabkan adanya usulan kenaikan biaya haji 2023 hingga Rp 98,8 juta.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Panitia Kerja (Panja) Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VIII DPR RI dengan agenda membahas besaran dana haji per jamaah 2023 pada Kamis (9/2/2023).
Marwan Dasopang mengatakan, BPKH masih belum memiliki kemampuan yang ideal untuk menaikkan nilai manfaat keuangan haji hingga dua digit. Ini karena hingga saat ini BPKH masih bertahan dalam investasi di sukuk dan penyertaan modal.
"Kami sebetulnya berharap BPKH menggandakan nilai manfaat itu sampai dua digit, tapi nyatanya BPKH tidak mampu, karena BPKH masih bertahan pengembangan uangnya di sukuk dan penyertaan modal. Ya segitu-gitu aja, andaikan tidak ada BPKH ya segitu juga," ujar Marwan, dikutip Republika dari video live RDP Komisi VIII yang ditayangkan di TV Parlemen, Sabtu (11/2/2023).
Ia memaparkan, dalam catatan keuangan haji sebelum BPKH, keuangan haji telah menghasilkan sekitar Rp 5 triliun hingga Rp 7 triliun. Tahun 2013-2015 merupakan masa-masa yang sangat ideal dalam keuangan haji kita yakni 70 persen ditanggung oleh jamaah dan 30 persen ditopang oleh nilai manfaat, dengan setoran awal Rp 25 juta. Kemudian tahun-tahun berikutnya sudah mulai timpang, proporsinya naik menjadi 65:35, lalu 60:40 dan bahkan pada beberapa tahun belakangan ini nilai manfaat atau subsidi yang menopang lebih besar ketimbang yang ditanggung jamaah.
Kenaikan biaya haji tahun ini karena perubahan paradigma dari Kerajaan Arab Saudi yang tidak lagi memandang haji sebagai ibadah saja, tetapi ada sisi bisnis yang berputar di perjalanan ibadah haji. Akibatnya, biaya haji tahun ini diusulkan menjadi Rp 98,8 juta.
Komisi VIII pun kembali mengkritisi BPKH yang belum dapat melaporkan secara baik mengenai keuangan haji, membiarkan pandangan para pakar bahwa keuangan haji sudah kolaps. Padahal menurut Marwan, hal tersebut tidak mungkin terjadi karena selama pandemi 2020-2021, Pemerintah masih menyimpan nilai manfaat keuangan haji karena tidak ada keberangkatan haji.
Nilai manfaat yang tersimpan tersebut yakni sebesar Rp 9,2 triliun pada 2020 dan sekitar Rp 10 triliun pada 2021. Sedangkan pada tahun 2022, jamaah haji yang berangkat hanya setengah, sehingga masih tersimpan nilai manfaat tahun berjalan tersebut.
"Kami sampai sekarang tentu kalau disebut kecewa boleh saja disebut kecewa dengan BPKH, membiarkan pandangan para pakar bahwa keuangan haji sudah kolaps, padahal tidak," kata Marwan.
Selain itu, ia memastikan bahwa kepastian biaya haji 2023 akan diputuskan pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Selasa (14/2/2023) depan, mengingat waktu pelunasan biaya haji yang semakin sempit.
Menurut Marwan, profil jamaah haji tidak semuanya mampu untuk melunasi biaya haji yang demikian besar. Dengan kenaikan biaya haji yang diusulkan oleh Kemenag RI tersebut, sebesar 70 persennya ditanggung oleh jamaah haji sedangkan 30 persennya berasal dari nilai manfaat yang dikelola oleh BPKH.
Ini berarti, dari RP 98,8 juta tersebut, sebanyak Rp 69 juta harus ditanggung oleh jamaah. Dikurangi uang setoran pendaftaran haji yang sebesar Rp 25 juta, maka calon jamaah haji harus melunasi sebesar RP 44 juta untuk berangkat.
"Dengan profil jamaah kita (sebagian besar tidak mampu), kami dapat meyakini sebagian besar jamaah yang masuk dalam tahun ini pasti tidak mampu melunasi Rp 44 juta. Kalau kita dapat bersepakat dengan pemerintah tanggal 14 Februari ini diputuskan, jamaah hanya punya waktu satu bulan untuk melunasi," tutur Marwan.
Marwan berharap bahwa keputusan mengenai biaya haji tidak mundur dari tanggal tersebut hingga melewati masa reses. Karena jika begitu, maka calon jamaah haji pada tahun ini hanya memiliki waktu seminggu untuk melunasi biaya haji.