Selasa 14 Feb 2023 09:27 WIB

Pakar: Bangun Iklim Demokrasi Sehat dengan Kecakapan Berpolitik

Tak bisa dipungkiri pesta demokrasi tidak akan pernah lepas dari politik identitas.

Pakar psikologi politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk.
Foto: Republika/Wihdan H
Pakar psikologi politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pilpres 2024 sejatinya hanya alat untuk mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis dan bermartabat. Sehingga setiap langkah dari prosesi Pilpres 2024 diharapkan tidak sampai merusak kohesi dan harmoni kebangsaan.  

Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia, Prof Hamdi Muluk mengatakan bahwa tak bisa dipungkiri pesta demokrasi tidak akan pernah lepas dari politik identitas. Namun iklim demokrasi sehat, yang jauh dari narasi ujaran kebencian, hoaks, adu domba dan SARA tetap harus diwujudkan dan dijunjung oleh seluruh unsur negara. Hal inilah yang mendasari menekankan tentang pentingnya kecakapan politik.

"Setiap orang yang mau berkontestasi, harus cakap secara politik. Artinya punya kepemimpinan, mengerti isu-isu publik, bisa mengatur manajemen pemerintahan dan sebagainya. Seperti sesuatu yang rasional," ujar Hamdi Muluk di Jakarta, Senin (13/2/2023).

Ia menilai fenomena kontestasi politik di Indonesia dari tahun ke tahun kerap diwarnai nuansa permusuhan dan kebencian. Hal ini dapat semakin memperkeruh suasana demokrasi seakan tidak lebih dari sekadar ’peperangan’.

"Masyarakat harus punya literasi politik dan pendidikan yang cukup. Tidak banyak masyarakat yang bisa menilai calon kontestan politik baik partai ataupun perorangan dengan memakai kriteria-kriteria yang rasional seperti baik rekam jejak, program, visi misi politik, program politik dan sebagainya," jelasnya.

Kondisi demikian, menurut Hamdi, justru menjadi salah satu pemicu terciptanya radikalisasi di tengah masyarakat. Apalagi jika kepentingan politik sudah dibumbui dengan narasi keagamaan yang keliru. Hal ini akan mendorong kelompok radikal atau kelompok ekstrimis kekerasan membajak ideologi agama.

"Kalau hal itu (praktik politik identitas) jumlahnya makin banyak di masyarakat tentunya akan semakin kuat intoleransi beragama, intoleransi politik. Sehingga masyarakat terbelah berdasarkan dukungan terhadap kandidat atau sesuatu yang ‘dibungkus’ memakai agama, tentunya itu berbahaya sekali," ucapnya.

Ia menyerukan segenap masyarakat agar mampu membangun cara pandang baru dalam memaknai kontestasi politik. Itu penting agar tidak mudah terhasut atau bahkan menjadi pelaku pemecah belah persatuan bangsa yang memanfaatkan narasi politik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement