REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, mengatakan, cita-cita untuk mengintegrasikan lembaga-lembaga riset di Indonesia sudah ada sejak era Soekarno hingga BJ Habibie. Bahkan, menurut dia, hal tersebut menjadi satu-satunya cita-cita yang belum tercapai oleh pria berjuluk 'Mr Crack' itu.
"Cita-cita beliau (Habibie) yang belum tercapai satu-satunya adalah mengintegrasikan lembaga riset. Saya tahu persis itu, karena saya dulu di Habibie Center, saya juga dididik dan sekolah karena program beasiswa di era beliau saat Kemenristek dulu," ujar Handoko dikutip dari laman BRIN, Kamis (16/2/2023).
Handoko menjelaskan, terbentuknya BRIN bukan sekadar mengintegrasikan unit riset di kementerian/lembaga (K/L), tetapi juga mengonsolidasikan seluruh sumber daya riset yang ada, mulai dari sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, dan anggaran. Selain itu, pihaknya juga melakukan perubahan tata kelola dan pola kerja periset secara fundamental.
"Riset itu banyak gagalnya. Di semua negara, riset itu harus kompetisi, kalau riset tanpa kompetisi itu sampah. Kenapa harus kompetisi? Karena kita harus memastikan bahwa orang itu adalah orang yang punya komitmen, memang ingin melakukan riset. Kedua, dia punya rekam jejak, punya kapasitas melakukan itu," jelas dia.
Handoko mengatakan, bagi yang belum mempunyai kapasitas untuk itu, maka harus melakukan kolaborasi dengan periset lainnya. Apabila kolaborasi tidak dilakukan, maka kompetisi tersebut Handoko sebut tidak akan dapat dimenangkan. "Jadi kalau yang belum punya kapasitas bagaimana? Ya, harus gabung sama yang lain. Itu yang membuat kita kolaboratif, karena kalau tidak kolaborasi, tidak akan menang kompetisi," kata Handoko.
Handoko menyebutkan, belum semua periset di BRIN terbiasa dengan pola kerja baru tersebut karena BRIN mentransfomasikan kelembagaan dan tata kelola terbesar dalam sejarah Indonesia. BRIN mengintegrasikan unit-unit riset dari 72 kementerian/lembaga, termasuk lima entitas riset utama berupa LIPI, BATAN, LAPAN, BPPT, dan Kemenristek.
Dengan integrasi itu, maka critical mass riset dan inovasi, yaitu SDM, infrastruktur, dan anggaran, dia nilai akan meningkat. Hal itulah yang Handoko nilai akan menjadi pengungkit ekosistem riset dan inovasi sehingga mendorong munculnya lembaga research and development (R&D) di kalangan industri.
"Riset itu sebelumnya didominasi pemerintah, R&D industrinya sama sekali tidak berkembang, karena riset itu banyak gagalnya. Kalau sekarang kita bisa fasilitasi industri, karena kita punya infrastruktur, anggaran, dan perisetnya (SDM) menjadi satu. Karena itu, lembaga riset pemerintah cukup satu, BRIN saja. Yang harus banyak adalah lembaga riset non-pemerintah, itu menjadi pengungkit ekosistem riset dan inovasi," ujar dia.
Handoko kemudian mengatakan, integrasi lembaga-lembaga riset ke dalam BRIN secara organisasi dan administratif telah selesai pada 31 Januari 2022. Menurut dia, jumlah lembaga R&D non-pemerintah akan menjadi indikator kerja utama BRIN ke depan.
"Kalau sekarang berapa targetnya itu memang belum ada di indikator kinerja kita secara formal, karena kita baru selesai integrasi. Tapi ke depan, itu akan menjadi Key Performance Indicator (KPI) utama BRIN. Jadi bukan membuat BRIN tambah besar, tapi membuat BRIN bisa menjadi enabler, bisa menjadi pengungkit tumbuhnya R&D itu sendiri," kata Handoko.
Handoko menjelaskan, setiap orang kini dapat mengakses infrastruktur yang ada di BRIN. Hal seperti itu yang sebelumnya tidak bisa dilakukan karena masing-masing lembaga litbang merasa punya fasilitas sendiri-sendiri. Di BRIN saat ini, semua infrastruktur disentralisir menjadi satu. Hal itu dilakukan karena apabila dikelola sendiri-sendiri, pembiayaan untuk itu akan memberatkan.
"Kalau sendiri-sendiri tidak sanggup biayainnya, itu yang membuat banyak infrastruktur mangkrak. Hal ini memang harus kita lakukan, sebab kalau tidak begitu, tidak bisa menjamin setiap orang melakukan riset dengan baik dan benar, karena tidak ada infrastrukturnya," jelas dia.