REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Generative Pre-Trained Transformer (ChatGPT) belakangan ramai diperbincangkan di linimasa karena kemampuannya untuk membantu menghasilkan ide konten, esai, bahkan menyelesaikan pertanyaan matematika. Hal ini menjadikan ChatGPT digadang lebih canggih daripada Bard chatbot besutan Google.
ChatGPT dikembangkan oleh OpenAI, perusahaan asal Amerika Serikat yang fokus mengembangkan teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Chatbot ini dibuat berdasarkan GPT-3.5, sebuah model bahasa alami yang menggunakan proses pembelajaran Deep Learning.
Industri teknologi berbasis kecerdasan buatan seperti ChatGPT diperkirakan akan berperan penting dalam kemajuan di sektor ekonomi. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran berbagai perusahaan teknologi yang membuka peluang pekerjaan dan bisnis baru.
Bahkan, menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), teknologi kecerdasan buatan diprediksi akan menambah Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hingga 386 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar 5,5 triliun rupiah di tahun 2030 mendatang.
Pemanfaatan AI dapat dicermati pada perkembangan layanan daring pada sektor transportasi, perbankan, belanja, dan keuangan berbasis digital serta digitalisasi dalam penyediaan materi pendidikan dan pelatihan.
Pada sektor ekonomi, perbankan, dan keuangan, AI berperan dalam pertumbuhan cashless society, business start-up, dan transaksi daring, serta transformasi toko fisik menjadi pemain e-commerce karena masifnya transaksi daring dengan memanfaatkan digitalisasi.
AI sebagai salah satu teknologi yang menjadi kunci utama perubahan besar di masa depan di sisi lain memiliki beberapa risiko. Yang paling dikhawatirkan oleh banyak kalangan adalah meningkatnya tingkat pengangguran akibat lapangan pekerjaan yang diisi oleh otomatisasi dan AI.
Lebih spesifiknya, dampak negatif yang dapat terjadi adalah bahwa AI dapat disalahgunakan yaitu untuk melakukan tindakan kriminal seperti peretasan dan pencurian data pribadi di mana hal tersebut mengancam keamanan digital. Bahkan penggunaan AI dapat digunakan untuk membahayakan keselamatan dunia, misalnya pengembangan otomatisasi senjata atau senjata berbasis AI dalam rangka invasi militer.
IT Advisory Director di Grant Thornton Indonesia, Goutama Bachtiar, mengatakan, Indonesia memiliki potensi besar untuk menggunakan dan lebih pentingnya melakukan inovasi berbasis AI. Berbagai industri yang dapat menggunakan dan memanfaatkan AI secara lebih masif yaitu telekomunikasi, manufaktur, transportasi, logistik, serta edukasi.
"Terlebih lagi di sektor jasa keuangan dan perbankan di mana mereka sudah mengadopsi penggunaan otomatisasi di lima tahun terakhir," katanya dalam siaran pers, Jumat (24/2/2023).
"Kecerdasan buatan merupakan salah satu game changer sehingga harus dipastikan dapat berkembang di berbagai lapisan masyarakat. Dengan masifnya pengembangan AI kita berharap dapat mengakselerasi transformasi ekonomi Indonesia, berkontribusi positif dalam mempercepat pemerataan pembangunan serta menggerakkan ekonomi di sektor riil maupun ekonomi kreatif," katanya menambahkan.
Kita, ujar Goutama, tentunya juga berharap atas kesungguhan upaya pemerintah dalam mengembangkan kecerdasan buatan dengan menjadikannya sebagai salah satu agenda dalam program transformasi digital sebagai salah satu akselerator pemulihan ekonomi nasional, seperti akan halnya e-commerce.
"Kongkretnya, AI diharapkan dapat mempercepat dan meningkatkan kualitas layanan publik, mempermudah dan memperluas aksesibilitas publik terhadap layanan digital, menambah lapangan kerja dan juga bisnis baru," ujarnya.