Ahad 02 Apr 2023 06:49 WIB

Standar Ganda terhadap Israel, Pakar: Jargon FIFA Omong Kosong

Sektor ekonomi juga mengalami kerugian karena batalnya Indonesia menjadi tuan rumah.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Fernan Rahadi
Logo FIFA
Foto: AP
Logo FIFA

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Pembatalan Indonesia menjadi tuan rumah di Piala Dunia U-20 terus menjadi polemik hingga kini. Kondisi tersebut turut dikomentari oleh Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Hafid Adim Pradana.

Menurut Hafid, keputusan FIFA untuk membatalkan Piala Dunia U-20 di Indonesia disinyalir karena penolakan dari sejumlah pihak di Indonesia atas keikutsertaan tim nasional (timnas) Israel. Hal itu juga menjadi polemik dan perbincangan di berbagai media sosial. Bahkan, dia juga mempertanyakan mengapa penolakan tersebut tidak dilakukan sejak timnas Israel dinyatakan lolos kualifikasi.

Hafid mengatakan batalnya Indonesia menjadi tuan rumah tentu saja memberikan kerugian di berbagai sektor. Secara diplomatik, Indonesia akan memiliki citra yang kurang baik di mata internasional.

"Karena nasi sudah menjadi bubur, maka kita harus tetap menghargai dan menghormati keputusan FIFA. Sayangnya, Indonesia akan selalu diingat sebagai negara yang gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20,” ungkap Hafid dalam keterangan pers yang diterima Republika, Jumat (31/3/2023).

Sektor ekonomi juga mengalami kerugian karena batalnya Indonesia menjadi tuan rumah. Apalagi dalam dua tahun terakhir, pemerintah telah menggelontorkan biaya yang tidak sedikit. Dalam hal ini, baik itu untuk membangun fasilitas baru maupun memperbaiki infrastruktur yang ada.

Satu hal penting yang menjadi kerugian terbesar adalah gagalnya tim nasional Indonesia U-20 untuk ikut serta dalam ajang sepak bola bergengsi tersebut. Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat kesempatan timnas Indonesia untuk tampil di piala dunia didapat berkat terpilih menjadi tuan rumah.

Hafid juga menggarisbawahi pernyataan resmi FIFA di paragraf kedua. Dengan kata lain, pembatalan Indonesia menjadi tuan rumah secara tidak langsung mengarah pada kejadian kelam sepak bola Indonesia yang terjadi pada oktober tahun lalu. 

Meskipun tidak pernah memberikan statement ke publik, FIFA dinilai tetap mengamati perkembangan hukum dan penanganan kejadian Kanjuruhan. Menurut dia, hal tersebut bisa dikatakan Indonesia tidak begitu serius menangani persoalan terkait.

Hal lain yang menjadi pembahasan batalnya Indonesia menjadi tuan rumah adalah adanya penerapan standar ganda yang dilakukan FIFA. Hal tersebut sangat jelas terlihat pada Piala Dunia 2022 yang digelar di Qatar. Pada saat itu, Rusia melakukan invasi ke Ukraina sehingga menjadi polemik dan juga isu global.

Hafid mengingat betul bagaimana FIFA memberikan sanksi kepada federasi Rusia. FIFA mendiskualifikasi timnas Rusia sehingga tidak memperbolehkan bendera, nama dan atribut Rusia terpajang di gelaran itu tersebut.

Jika memang FIFA bersikap tegas pada Rusia, seharusnya hal tersebut juga diberlakukan sama kepada Israel. Hal ini karena Israel telah memulai konflik dengan Palestina. 

Namun sikap itu sayangnya tidak dilakukan oleh FIFA. Hal ini karena alasan besarnya adalah asosiasi tersebut dibentuk dan didirikan oleh negara-negara barat. “Jadi jargon FIFA yang mengatakan sepak bola harus dipisahkan dengan politik itu hanya omong kosong,” ucap Hafid.

Hafid juga menyampaikan, Indonesia harus mengambil pelajaran dari keputusan ini. Hal tersebut juga menjadi sanksi bagi dunia persepakbolaan indonesia. Sudah saatnya pemerintah dan PSSI memiliki komitmen untuk memperbaiki kualitas sepak bola yang ada.

Dia berharap sepak bola tidak dijadikan sebagai ajang berpolitik. Adapun jika nanti kembali ingin menjadi tuan rumah event olahraga besar, ada baiknya untuk melakukan komunikasi dengan berbagai pihak untuk mencapai pemahaman yang sama. Dengan demikian peristiwa ini tidak terulang di masa mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement