Oleh : Frizki Yulianti Nurnisyah, S.IP., M.Si., Ph.D*
REPUBLIKA.CO.ID, Istilah personal branding sering ditemui dalam konteks pemasaran karena sering kali digunakan sebagai salah satu strategi untuk mencapai tujuan pemasaran. Personal branding diartikan Montoya dan Vandehey (2008) sebagai sebuah cara untuk mengendalikan pandangan orang lain mengenai pribadi kita bahkan sebelum mereka bertemu langsung dengan kita.
Artinya, kita bisa membentuk asumsi dan persepsi orang terhadap diri kita melalui personal branding. Hal ini dikarenakan personal branding tidak hanya memberikan kesempatan bagi kita untuk mengaktualisasikan diri kita, tapi juga sebuah peluang bagi kita untuk menunjukkan keunikan kepribadian kita. Keunikan tersebut akan menjadi pembeda yang diharapkan bisa menambah 'nilai jual' atas karakter dan identitas yang kita miliki.
Sebagian orang akan merasa janggal untuk menggunakan istilah pemasaran tersebut dalam koridor keagamaan. Hal tersebut dikarenakan adanya kekhawatiran timbul kesan kedangkalan dalam beragama yang seolah hanya mengejar dunia. Padahal personal branding yang baik akan mendatangkan manfaat, seperti mendapatkan kepercayaan orang lain sehingga lebih mudah untuk membangun relasi dan mendapatkan dukungan dari orang lain bahkan yang berbeda keyakinan sekalipun.
Berarti, jika seorang Muslim bisa membangun personal branding sebagai individu yang mencerminkan ajaran Islam secara kaffah, maka akan mengubah citra buruk (Muslim itu bodoh, brutal, dan pelaku terorisme) yang selama ini sering dilekatkan kepada orang-orang Muslim.
Itulah pentingnya bagi setiap Muslim untuk memiliki tanggung jawab yang sama agar bisa membangun personal branding dirinya sebagai muslim yang rahmatan lil alamin. Sebab, seperti pepatah yang menyatakan karena nila setitik rusak susu sebelanga, seringkali jika terjadi tindakan terorisme dan diketahui bahwa pelakunya seorang Muslim maka umat Muslim sedunia akan menanggung akibatnya.
Sering kita mendengar di negara yang Islam merupakan agama minoritas, begitu ada kejadian terorisme dengan pelaku beragama Islam maka berbagai tindakan diskriminasi akan diterima Muslim yang lainnya. Hal yang sama pun terjadi di Indonesia ketika ada kelompok-kelompok Muslim tersebut bertindak tidak adil ketika berkonflik menghadapi kaum minoritas seperti pembangunan rumah ibadah agama lain, penyerangan dan pengrusakan rumah ibadah agama lain, bahkan ketika berhadapan dengan kaum LGBT dan orang memiliki prinsip delay in marriage maupun childfree.
Secara tidak langsung, secara sadar dan tidak sadar, banyak umat Muslim yang justru menggiring citra buruk bagi Islam bahkan bisa melestarikan Islamofobia secara global.
Kita sebagai Muslim juga harus menyadari bahwa mereka yang non-Muslim tidak mungkin mempelajari Islam melalui kajian Alquran dan As-Sunnah. Justru mereka akan mengetahui ajaran Islam berdasarkan perilaku dan tindak tanduk dari umat Muslim itu sendiri.
Maka di era digital yang serba canggih, seorang Muslim seharusnya bisa mempraktikkan ajaran Islamnya secara lebih komprehensif. Melalui berbagai pilihan media komunikasi, umat Muslim bisa menggunakan personal branding untuk menunjukkan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin serta menampilkan ajaran Islam yang berkemajuan, sehingga tetap bisa terimplementasikan dalam setiap fase kehidupan termasuk di era digital, sehingga tidak terjadi kesalah pahaman yang bisa memperburuk citra Islam di mata dunia.
*Dosen Ilmu Komunikasi UMY