Jumat 21 Apr 2023 04:57 WIB

Tiga Kualitas Takwa Peraih Idul Fitri

Idul Fitri dapat menjadi momen yang tepat untuk mempererat tali persaudaraan.

Idul fitri (ilustrasi)
Foto: Republika
Idul fitri (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Idul Fitri adalah salah satu hari raya yang dirayakan oleh umat Muslim di seluruh dunia yang dirayakan setelah berakhirnya bulan suci Ramadhan. Namun, di balik perayaannya yang meriah, Idul Fitri juga memiliki makna yang sangat dalam bagi umat Muslim, yakni tentang proses spiritual terlahir kembali menjadi insan fitri yang suci.

Guru Besar Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Prof Bambang Qomaruzzaman,  menjelaskan Idul Fitri sejatinya merupakan momen kemanusiaan untuk kembali menjadi manusia yang diharapkan oleh Allah SWT.

"Idul Fitri berarti kembali menyadari tugas seorang Mukmin untuk dunia kehidupan ini, bukan untuk kelompoknya, untuk seluruh alam. Sebagai pengelola, manusia mendapatkan tugas memakmurkan kehidupan dunia, memberikan rasa keadilan dan kasih sayang pada semua makhluk," ujarnya di Bandung, Kamis (20/4/2023).

Oleh sebab itu, Prof Bambang yang juga Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Barat (Lakpesdam PWNU Jabar) ini menyebut, Idul Fitri adalah back to the ground, yakni menyadari kelemahan masing-masing diri dan menginsyafi kekuatan hidup bersama.

"Semua mengharapkan muncul pribadi yang memenangkan perjuangan melawan hawa nafsu. Kemenangan itu ditandai dengan munculnya pribadi takwa yang al-kazhiminal ghayza (orang-orang yang menahan amarahnya) wal ‘afina ‘aninnas (memaafkan (kesalahan) orang) dan pribadi yang berbuat ihsan (muhsinin) seperti dikemukakan Ali Imran: 134," ucap pria yang akrab disapa Prof BeQi ini.

Tiga kualitas ini dibutuhkan oleh NKRI yang majemuk. Pertama, mampu menahan marah (al-kazhimianl ghaza), ini artinya pribadi yang ber-Idul Fitri adalah pribadi yang bisa memenej emosinya, memiliki kecerdasan emosional sehingga tak setiap kemarahan, ketidakpuasan, dan kekecewaan harus diekspresikan dalam bentuk kemarahan yang destruktif. Sikap ekstrem muncul saat kemarahan dilampiaskan tanpa penyaring.

"Kedua yakni memaafkan semua manusia (al-afina aninnas), ini berarti peraih idul fitri adalah orang tidak memelihara dendam, tidak menyimpan kesalahan orang lain lalu menjadikannya alasan untuk berbuat destruktif. Membersihkan hati dari kesalahan orang lain agar tak ada alasan lagi melakukan kekerasan," ujarnya.

Ketiga yakni Muhsinin (orang yang melakukan kebaikan). Peraih Idul Fitri adalah para Muhsinin yang terus berbuat baik pada semua pihak tanpa syarat apapun. Dirinya membanyangkan jika Negara ini dipenuhi orang Muhsinin, tentunya Negara ini akan luar biasa.

"Dengan tiga kualitas peraih Idul Fitri yang bisa mengelola emosi, tidak memelihara dendam kesumat, dan muhsinin pada semua manusia, tak ada alasan untuk tidak merasa bersaudara dan solidaritas pada pemeluk agama lain," ujar pria yang juga merupakan Aktivis Muda Nahdlatul Ulama (NU) ini.

Prof BeQi juga mengemukanan, Idul Fitri dapat menjadi momen yang tepat untuk mempererat tali persaudaraan dan solidaritas antara umat Islam dengan masyarakat pemeluk agama lain. Sebagaimana Agama  dalam bahasa Arab artinya Ad-din atau ad-dayn. Di mana kata ad-Dayn itu sendiri artinya adalah utang.

"Orang beragama itu orang yang menyadari utangnya pada Tuhan, pada alam semesta, dan pada sesama manusia. Selama bulan puasa mendukung pelaksanaan puasa. Tanpa dukungan semua pihak, puasa terasa berat. Dari situ lahirlah sikap rendah hati, tidak sombong, penuh syukur, membalas jasa, dan menjaga kehidupan agar tetap nyaman," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement