Sabtu 06 May 2023 04:45 WIB

Pemerintah Dinilai Kurang Fair Mengatur Tunjangan Dosen 

Karier dosen hanya seperti tenaga kerja industri yang menghasilkan artikel jurnal.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Fernan Rahadi
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal.
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Nur Rizal, menyoroti soal keseriusan pemerintah dalam mengatur karier dosen. Menurutnya ada ketidakadilan dalam menentukan besaran insentif dosen selama ini. Ia mencontohkan, bahwa insentif penulisan jurnal lebih besar ketimbang insentif untuk pengajaran dan pengabdian masyarakat. 

Padahal menurut Rizal ada sejumlah dosen yang peminatannya lebih senang di pengabdian masyarakat. Namun pemerintah lebih menyediakan insentif bagi dosen yang melakukan penelitian berbasis jurnal. 

Baca Juga

"Sehingga penelitian-penelitian yang  tidak menghasilkan jurnal, padahal dia bisa menghasilkan produk atau pemikiran yang berdampak bagi masyarakat luas, kalau tidak dijurnalkan itu nggak dapat insentif," kata Rizal kepada Republika, Jumat (5/5/2023).

Menurutnya hal tersebut mengakibatkan peminatan dosen diseragamkan. Sehingga karier dosen hanya seperti tenaga kerja industri yang menghasilkan artikel jurnal. "Ini yang harusnya coba disusun ulang oleh pemerintah, harusnya," ujarnya. 

Selain itu hal lain yang juga penting yaitu menciptakan ekosistem anggaran untuk mendorong dosen melakukan Tri Dharma Perguruan Tinggi secara optimal. Termasuk mampu menarik anggaran dari sektor swasta.

"Misal karena kualitas pengajaran dan penelitiannya baik, maka output siswanya bisa diterima di perusahaan multinasional. atau hasil risetnya bisa dipakai oleh perusahaan multinasional sehingga ada anggaran dari swasta untuk bisa meningkatkan ekosistem yang ada di kampus itu," jelasnya. 

Oleh karena itu, pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) tersebut tidak yakin dengan menaikan gaji dosen otomatis ikut meningkatkan kualitas pendidikan. Menurutnya ketika kultur untuk membangun Tri Dharma Perguruan Tinggi yang fair dan berkualitas belum terbentuk, maka menaikkan gaji dinilai tidak akan menyelesaikan persoalan.

"Kenapa? Kemenkeu Sri Mulyani ketika menjadi Menteri Keuangan dia menaikan gaji dan insentif para ASN Kemenkeu termasuk pajak, tapi yang jadi koruptor pajak, menyelundupkan pajak ini kan juga gede. kata Pak Mahfud Rp 340-an Triliun padahal gaji mereka (ASN Kemenkeu) jauh melebihi ASN lainnya," ujarnya.

"Persoalannya apakah kultur di Kemenkeu yang tidak koruptif itu akan terkikis, nggak juga.  Rp 340 T korup, jadi saya nggak percaya meningkatkan gaji otomatis meningkatkan kualitas SDM, meningkatkan kualitas perguruan tinggi  atau sekolah, nggak percaya kalau hanya gaji," katanya.

Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKSPTIS) sebelumnya menyebut dosen yang diberi upah rendah harus menjadi perhatian serius. Hal ini disampaikan mengingat kesejahteraan dosen yang jauh dari layak.

"Jika ini adalah fakta sosial yang ada, maka isu ini harus mendapatkan perhatian serius. Perlu dicari solusinya yang melibatkan banyak faktor," kata Ketua BKSPTIS, Fathul Wahid kepada Republika, Jumat (5/5/2023).

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) tersebut menekankan bahwa perlunya menemukan ukuran kesejahteraan yang layak bagi dosen. Tentunya, ujar Fathul, ukuran kesejahteraan yang layak ini tidak hanya sebatas gaji pokok. "Tetapi juga komponen pendapatan lain yang halal dan prosedural. Juga perlu memikirkan sumbernya," ujar Fathul.

Seperti diketahui, hasil survei menunjukkan sebagian besar dosen mendapatkan gaji yang jauh dari kata layak. Akademisi yang juga dosen ilmu manajemen Universitas Indonesia (UI), Kanti Pertiwi, mengatakan, mayoritas gaji dosen yang dikumpulkan dari 1.300 responden berada di kisaran Rp 2 juta hingga Rp 5 juta per bulan.

Keluhan gaji rendah oleh dosen bertepatan dengan momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada 2 Mei. Sehari sebelumnya, 1 Mei, para buruh di berbagai daerah di Tanah Air berunjuk rasa menuntut beragam hal. Salah satunya adalah upah murah yang mereka terima selama ini dan ketidakberdayaan terhadap perusahaan pemberi kerja.

"Rentang gaji yang paling banyak adalah di angka Rp 2-3 juta per bulan dan ada Rp 4-5 juta per bulan, jadi mayoritas Rp 2-5 juta per bulan. Beberapa mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjadi pejabat struktural di kampusnya masing-masing, walaupun itu jadi persoalan tersendiri," kata Kanti pada diskusi tentang serikat dosen yang diikuti secara daring di Jakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement