Sabtu 06 May 2023 07:04 WIB

Komisi X DPR: Tak Sedikit Dosen yang Upahnya di Bawah UMR

Persoalan kesejahteraan membuat pendidikan selalu diposisikan di tempat yang rendah.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Fernan Rahadi
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih.
Foto: Humas DPR RI
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, mengatakan, jika pendidikan Indonesia mau maju, maka status, gaji, dan jaminan sosial para guru dan dosen harus jelas. Dia menyebutkan, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya, yakni tak sedikit guru dan dosen yang mendapatkan upah di bawah yang semestinya.

"Kalau pendidikan kita mau maju, maka guru dan dosen harus jelas statusnya, gajinya, dan jelas pula jaminan sosialnya baik jiwa, kesehatan maupun hari tuanya. Tapi faktanya di lapangan tak sedikit guru dan dosen yang take home pay dari wage and salary-nya di bawah upah minimum regional (UMR),” jelas Fikri kepada Republika, Jumat (5/5/2023).

Baca Juga

Menurut dia, persoalan tersebut membuat pendidikan Indonesia secara kualitas selalu diposisikan di tempat yang rendah. Fikri menuturkan, jika semangatnya menggunakan konsep Ki Hadjar Dewantara, maka guru dan dosen itu seharusnya diposisikan sebagai pemimpin dari masyarakat murid dan mahasiswa.

“Yang bila di depan menjadi teladan, ing ngarso sung tulodo; bila di tengah membantu bersama kerja, ing madyo mangun karso; dan bila di belakang memotivasi dan mendorong, tutwuri handayani,” kata dia.

Fikri menyebutkan, ketika bicara spesifik mengenai dosen, tugas berat mereka harus emban. Di mana mereka tidak hanya mengajar, tapi juga melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sebagaimana tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.

“Tentu jauh panggang dari api apabila kesejahteraannya tak diperhatikan,” ujar Fikri.

Sebab itu, menurut Fikri, 20 persen anggaran pendidikan penting diurai lebih lanjut untuk melihat keefektifan penggunaannya. Dia mengatakan, anggaran yang sesungguhnya secara penuh digunakan untuk memfasilitasi proses belajar mengajar secara langsung perlu dilihat lebih lanjut.

”Karena hampir separuhnya berupa dana transfer daerah. Efektifkah untuk pendidikan?” jelas dia.

Dia kemudian menyampakan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) boleh saja berkreasi untuk memajukan pendidikan. Tapi, jangan sampai dalam prosesnya melupakan pembangunan pondasi yang kokoh sehingga tidak tergerus oleh dinamika zaman yang terus berjalan.

“Misal penyelesaian infrastruktur pendidikan dan pembenahan guru dan dosen, baik jumlah, mutu, dan kesejahteraan guru dan dosen itu,” ujar dia.

Selain itu, pemerintah dalam hal ini Kemendikbudristek juga perlu berkoordinasi intensif dengan kementerian/lembaga (KL) yang juga menyelenggarakan pendidikan. Sebab, kata dia, pendidikan merupakan urusan wajib yang didesentralisasikan secara baik.

"Perguruan tinggi pusat, SMA/K dan pendidikan khusus, serta layanan khusus provinsi, SMP ke bawah di kabupaten/kota. Maka tidak bisa di tawar lagi Kemendikbudristek wajib berkoordinasi rutin dan intensif dengan Kemendagri," jelasnya.

Sebelumnya, hasil survei menunjukkan sebagian besar dosen mendapatkan gaji yang jauh dari kata layak. Akademisi yang juga dosen ilmu manajemen Universitas Indonesia (UI), Kanti Pertiwi, mengatakan, mayoritas gaji dosen yang dikumpulkan dari 1.300 responden berada di kisaran Rp 2 juta hingga Rp 5 juta per bulan.

Keluhan gaji rendah oleh dosen bertepatan dengan momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada 2 Mei. Sehari sebelumnya, 1 Mei, para buruh di berbagai daerah di Tanah Air berunjuk rasa menuntut beragam hal. Salah satunya adalah upah murah yang mereka terima selama ini dan ketidakberdayaan terhadap perusahaan pemberi kerja.

"Rentang gaji yang paling banyak adalah di angka Rp 2-3 juta per bulan dan ada Rp 4-5 juta per bulan, jadi mayoritas Rp 2-5 juta per bulan. Beberapa mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjadi pejabat struktural di kampusnya masing-masing, walaupun itu jadi persoalan tersendiri," kata Kanti pada diskusi tentang serikat dosen yang diikuti secara daring di Jakarta, kemarin.

Kanti melanjutkan, pendapatan tersebut apabila dibandingkan dengan tuntutan kualifikasi dosen yang harus menempuh pendidikan S-2 atau S-3, menghabiskan sumber daya yang tidak sedikit untuk sekolah. Beberapa dosen bahkan berhenti dari pekerjaan rutin dan ketika kembali hanya diberikan kompensasi yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.

"Periode awal karier dosen adalah masa-masa kritis. Dengan gaji Rp 2-3 juta bergelar S-2, dan telah bekerja kurang dari tiga tahun, di usia mereka itu sedang membangun rumah tangga, ada cicilan hunian, biaya sekolah anak yang tidak sedikit, dan hanya 9 persen partisipan survei yang mendapatkan gaji di atas angka tersebut," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement