Selasa 23 May 2023 18:05 WIB

PP 'Aisyiyah: Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 Bentuk Ketidakberpihakan Pada Perempuan

KPU didesak mendorong parpol untuk mengeluarkan kebijakan affirmative action.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Fernan Rahadi
Logo Aisyiyah
Foto: tangkapan layar google
Logo Aisyiyah

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pimpinan Pusat 'Aisyiyah (PP 'Aisyiyah) menanggapi soal Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota pada Pemilu 2024. Sekretaris Umum PP 'Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah, mengatakan PKPU tersebut dapat dinilai sebagai bentuk ketidakberpihakan pada perempuan di ranah politik.

"Ketentuan tersebut bisa dibaca sebagai bentuk ketidakberpihakan pada upaya mewujudkan pemilu inklusif dan berkeadilan yang memungkinkan perempuan mengejar ketertinggalan di bidang politik dan pemerintahan melalui kehadiran lebih banyak perempuan dalam proses pemilu," kata Tri dalam keterangan tertulisnya, Selasa (23/5/2023).

Tri mengatakan pada pasal 8 ayat (2) huruf a menyebutkan bahwa dalam hal penghitungan 30 persen jumlah Bakal Calon perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Hal tersebut berbeda dengan pengaturan Pemilu 2019 dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 yang mengatur bahwa dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas.

Selain mengubah norma afirmasi keterwakilan perempuan yang sudah dipraktikkan pada dua pemilu sebelumnya, Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU 10/2023 secara hukum disebut PP 'Aisyiyah juga melanggar dan bertentangan dengan Pasal 245 UU 7/2017 yang menyatakan bahwa Daftar bakal calon di setiap daerah pemilihan memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Dampaknya, Pasal 8 ayat (2) huruf a dalam PKPU 10/2023 bisa membuat berkurangnya jumlah caleg perempuan pada sejumlah dapil Pemilu DPR dan DPRD.

"Hingga saat ini PP 'Aisyiyah menantikan iktikad baik dari KPU yang telah menerima keberatan yang disampaikan banyak pihak terkait hal tersebut yang pada konferensi pers pada 10 Mei 2023 menyatakan akan melakukan perubahan Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU No 10/2023 disertai kesempatan bagi partai politik untuk melakukan perbaikan sehingga keterwakilan perempuan memenuhi ketentuan Pasal 245 UU 7/2017. Namun hingga saat ini, KPU belum merealisasikan revisi PKPU 10/2023 yang telah dijanjikan tersebut," jelasnya.

Menyikapi itu Pimpinan Pusat 'Aisyiyah mendesak KPU, Bawaslu dan DKPP untuk segera merevisi ketentuan Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2018 dan mengembalikannya pada ketentuan yang sejalan dengan Pasal 245 UU 7/2017, yakni dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas.

PP Aisyiyah juga mendesak KPU, DKPP, Bawaslu mewujudkan dan memenuhi keterwakilan perempuan dalam komposisi Tim Seleksi ataupun keanggotaan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Serta menyertakan kebijakan afirmasi yang tegas dalam Peraturan KPU tentang Seleksi Calon Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota agar tidak menegasikan dan menihilkan keterwakilan perempuan dalam pengisian keanggotaan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. 

"Demikian halnya Bawaslu beserta jajarannya sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu harus mengimplementasikan affirmative action untuk terpenuhinya keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen," tuturnya.

Selain itu PP Aisyiyah juga mendesak KPU, Bawaslu, dan DKPP untuk menyusun kebijakan tata kelola organisasi penyelenggara pemilu yang berperspektif adil dan setara gender dalam pengaturan, implementasi, dan pengelolaan tahapan ataupun organisasi pada setiap tingkatannya. Kemudian PP 'Aisyiyah juga mendesak KPU mendorong partai politik untuk secara aktif membuka peluang seluas-luasnya kepada caleg perempuan di partai politiknya melalui kebijakan affirmative action. 

"Partai politik juga harus berkomitmen meminimalisir pencalegan yang berbiaya tinggi (high cost) serta tidak menempatkan perempuan sekadar sebagai pelengkap pada posisi sepatu ataupun sebatas vote gather semata," ucapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement