REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kasus sifilis atau yang biasa disebut raja singa meningkat tajam di DIY. Meski begitu, Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY mencatat masih banyak yang belum diobati.
Berdasarkan data dari Sistem Informasi HIV/AIDS (SIHA), di DIY tercatat 67 kasus sifilis pada 2020. Pada 2021, kasus meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 141 kasus.
Pada 2022, kasus sifilis kembali meningkat tajam menjadi 333 kasus. Sedangkan, di 2023 hingga Mei sudah terdeteksi sebanyak 89 kasus sifilis di DIY.
Kepala Bidang Pengendalian Penyakit Dinkes DIY Setyarini Hestu Lestari mengatakan, dari angka tersebut sebagiannya masih belum diobati atau mengakses pengobatan.
"Peningkatan (kasus sifilis) cukup tinggi. Kalau kemudian teman-teman atau masyarakat itu mengakses ke layanan, itu biasanya kalau mau diobati itu ada obatnya, pemerintah menyediakan obat-obatan," kata Setyarini kepada Republika, Rabu (24/5/2023).
Setyarini memerinci bahwa penderita sifilis yang tidak mengakses pengobatan pada 2020 mencapai 43 persen dari total kasus yang terdeteksi. Sedangkan, pada 2021 tercatat 58 persen kasus yang tidak mengakses pengobatan sifilis ini.
"Di 2022, yang diobati baru 31 persen. Di 2023 ini yang diobati baru 29 persen," ujar dia. Padahal, Setyarini menyebut bahwa seluruh fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) paling bawah, yakni puskesmas di DIY, sudah bisa memberikan pelayanan untuk sifilis.
Meski begitu, masih ada masyarakat yang menderita penyakit ini tapi tidak mau mengakses layanan pengobatan. Ia mengungkapkan, sejatinya 121 puskesmas di DIY sudah mampu melakukan pelayanan pemeriksaan untuk sifilis, HIV, bahkan hepatitis.
"Artinya, pemerintah sudah membuat akses layanan itu sedekat mungkin ke masyarakat dan kemudian ketika dibuka akses pelayanan juga disediakan obat oleh pemerintah. Sekarang kan tinggal mau atau tidaknya masyarakat," ujarnya.
Setyarini menuturkan bahwa yang tidak mau mengakses pengobatan ini ada yang karena malu, karena salah satu faktor risiko dari penyakit ini adalah hubungan seksual yang berisiko.
"Karena ada yang tidak mau karena malu atau kemudian mau karena ingin sembuh. Kalau diobati, insya Allah, bisa sembuh dan tidak menularkan. Kemudian, kalau yang tidak mengakses pengobatan ini masih berperilaku menyimpang (seks berisiko), tentu bisa terjadi penularan," kata Setyarini.
"Padahal, sebetulnya ketika dia datang ke layanan kesehatan, insya Allah, dilayani oleh teman-teman kami," tambahnya.