Senin 03 Jul 2023 07:02 WIB

Pakar Hukum Pidana UII: Pemerintah Lambat Tangani Kasus Al Zaytun

Upaya yang dilakukan pemerintah melalui Menkopolhukam tetap patut diapresiasi.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Fernan Rahadi
Pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun Panji Gumilang menyapa jurnalis saat tiba di Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (23/6/2023).
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun Panji Gumilang menyapa jurnalis saat tiba di Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (23/6/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia  (UII) Ari Wibowo mengomentari soal langkah yang dilakukan pemerintah dalam menangani polemik Al Zaytun. Menurutnya langkah pemerintah dalam menyelesaikan polemik tersebut cenderung lambat.

"Pernyataan-pernyataan kontroversi Panji Gumilang tidak sekali dua kali dilontarkan tetapi sudah berulang kali hingga menjadi viral. Menurut saya, penanganannya sangat lambat, beda dengan kasus-kasus serupa yang pernah terjadi sebelumnya seperti kasus Lia Eden, Yusman Roy, Ahmad Mushaddiq, dan lain-lain yang penanganannya bisa cepat," kata Ari kepada Republika. 

Baca Juga

Ia menilai pernyataan yang dilontarkan Panji Gumilang sudah sangat meresahkan masyarakat. Sehingga jika tidak segera ditangani maka berpotensi terjadi perbuatan main hakim sendiri lantaran  masyarakat tidak akan percaya lagi dengan negara.

"Sulit dimengerti mengapa begitu lambat ditangani, padahal pernyataan-pernyataannya sudah jelas menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam dan sebagian mengandung penodaan terhadap agama," ucapnya.

Ia menuturkan pernyataan seperti khatib boleh perempuan, haji boleh di Indonesia, merupakan bentuk penafsiran yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam karena shalat dan haji merupakan ibadah mahdhah yang tata cara, kadar, dan waktunya sudah ditentukan dalam nash. Menurutnya dalam hal ini Panji Gumilang melanggar Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. 

"Ini yang biasa dikenal sebagai larangan menyebarkan ajaran sesat. Sesuai ketentuan UU, harus diawali dengan peringatan berdasarkan keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri. Jika sudah diperingatkan tapi masih jalan, maka baru bisa diproses pidana," ungkapnya.

Ia menambahkan, pernyataan Panji Gumilang yang bisa tergolong masuk ke dalam pasal penodaan agama misalnya pernyataannya yang menyebut jika Allah berbahasa Arab, nanti susah bertemu orang Indramayu. Ari mengatakan penodaan dalam Pasal 156a berarti penghinaan, dan jelas pernyataan tersebut menghina Allah. 

"Untuk pelanggaran ini tidak diperlukan peringatan tetapi bisa langsung diproses pidana," kata dia.

Namun demikian meski lambat tetapi upaya yang dilakukan pemerintah melalui Menkopolhukam tetap patut diapresiasi. Tiga langkah yang diambil pemerintah dinilai sudah komperhensif yang mencakup pidana, sanksi administratif, dan kondusifitas masyarakat. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement