Senin 31 Jul 2023 21:28 WIB

Refly Harun Kritisi Argumen MK Soal Presidential Threshold

Argumen presiden butuh dukungan kursi tidak ada hubungannya dengan PT.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Refly Harun
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Refly Harun

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Refly Harun merasa, masyarakat terus dibodohi oleh argumen-argumen Mahkamah Konstitusi (MK) soal presidential threshold. Ia turut mengkritisi tiga argumen MK yang mempertahankan PT.

Pertama, presiden membutuhkan dukungan parlemen, kedua kita membutuhkan penguatan sistem presidensial dan tiga open legal policy. Ia menekankan, itu semua tidak ada hubungannya dengan presidential threshold.

Ia mengingatkan, Partai Gerindra atau PAN yang bukan merupakan koalisi Jokowi tetap bisa ikut dalam pemerintahan. Karenanya, Refly menegaskan, argumen presiden butuh dukungan kursi tidak ada hubungannya dengan PT.

"Tidak benar perlu dukungan kursi di parlemen dikaitkan PT. Kalaupun tidak ikut koalisi pengusung capres, anda tetap bisa ikut pemerintahan, itu sudah terjadi, Partai Gerindra, lawan, itu ikut dalam pemerintahan," kata Refly, Senin (31/7/2023).

Lalu, ia menuturkan, argumen kalau kita membutuhkan penguatan sistem presidensial. Padahal, Refly menekankan, bukan sosok presiden yang perlu kita perkuat, tapi relasi sistem, terutama antara eksekutif-legislatif.

"Diharap keduanya kuat, jadi ada check and balancing. Sekarang, sistem presidensial kita tidak kuat karena ternyata check and balancing tidak terjadi. banyak hal hal yang seharusnya dicek oleh DPR tidak dia cek," ujar Refly.

Misal, soal ijazah Jokowi dari Universitas Gadjah Mada. Ia menilai, kalau benar ijazah Jokowi tidak benar, dia sudah tidak bisa lagi jadi presiden dan harus dimakzulkan karena tidak memenuhi syarat-syarat.

Kemudian, soal cawe-cawe Jokowi dalam rangka mencopet Partai Demokrat. Ia berpendapat, kalau itu benar-benar direstui Istana ini sudah merusak demokrasi serta melanggar konstitusi dan pengkhianatan terhadap negara.

"Belum lagi ketika Presiden Jokowi (disebut) mendikte, menyandera ketua umum partai politik, ada yang pasien rawat jalan, kalau melawan menjadi pasien rawat inap KPK atau Kejagung," kata Refly.

Ia menegaskan, kabar seperti itu seharusnya dicek kebenarannya. Sebab, lanjut Refly, di AS saja Richard Nixon hanya memasang alat sadap ke Partai Demokrat menjelang pilpres itu saja sudah bisa dimakzulkan. "Ini obok-obok partai orang tidak diapa-apakan," ujar Refly. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement