REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mengungkap sejumlah potensi masalah yang akan terjadi apabila pemerintah mempercepat pelaksanaan Pilkada Serentak 2024, dari jadwal semula 27 November 2024 menjadi September 2024. Setidaknya, ada dua masalah yang bisa terjadi.
Pertama, ada kemungkinan terjadi irisan tahapan akhir Pemilu 2024 dan tahapan awal Pilkada 2024. Irisan tahapan itu akan mengganggu persiapan pilkada.
"Kalau hasil pemilu sebelumnya itu berlarut-larut (sengketanya), cara penyelesaiannya dalam bentuk bagaimana?" kata Komisioner Bawaslu RI Herwyn J Malonda dalam rapat dengan pendapat dengan Komisi II DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/9/2023) malam.
Sebagai gambaran, berdasarkan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Jadwal dan Tahapan Pemilu 2024 dinyatakan bahwa apabila Pilpres 2024 berlangsung dua putaran, maka rekapitulasi hasil penghitungan suara baru tuntas pada 20 Juli 2024. Itu belum menghitung kemungkinan adanya sengketa hasil pilpres putaran kedua yang bisa memakan waktu hingga Agustus 2024.
Kedua, ada potensi terjadinya masalah produksi dan distribusi logistik, terutama kurangnya stok kertas untuk mencetak surat suara. Sebab, hari pemungutan suara Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024 hanya berjarak sekitar tujuh bulan dengan pelaksanaan pilkada September.
"Karena masih menggunakan surat suara, harus dimitigasi terkait ketersediaan kertas. Karena pengalaman di Pemilu 2019 yang lalu, pengadaan kertas yang digunakan di surat suara pemilu hampir tidak dapat dipenuhi," kata Herwyn.
Meski menyampaikan sejumlah catatan atas rencana percepatan pilkada, Herwyn menegaskan lembaganya sebagai pelaksana undang-undang akan mematuhi apa pun amanat dalam Perppu Pilkada. Pernyataan serupa disampaikan oleh dua lembaga penyelenggara pemilu lainnya, yakni KPU RI dan DKPP.
Dalam rapat tersebut, Mendagri Tito menjelaskan alasan pemerintah hendak menerbitkan Perppu Pilkada. Terdapat empat pokok muatan dalam beleid tersebut.
Pertama, mempercepat pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 dari jadwal semula 27 November 2024 menjadi September 2024. Tujuannya untuk mengantisipasi kekosongan kepala daerah di semua daerah di Tanah Air, kecuali Provinsi DI Yogyakarta dan enam kota/kabupaten administrasi di Jakarta, pada 1 Januari 2025.
Dengan mempercepat Pilkada 2024 ke September, Tito menginginkan semua kepala daerah terpilih dilantik secara serentak paling lambat pada 1 Januari 2025. Keserentakan pelantikan itu juga bisa membuat rencana pembangunan pemerintah daerah selaras dengan RPJMN.
Kedua, mempersingkat masa kampanye hanya 30 hari saja. Tito mengatakan, pemangkasan masa kampanye bertujuan untuk mengantisipasi kemungkinan adanya irisan tahapan awal Pilkada 2024 dan tahapan akhir Pemilu 2024.
Selain itu, Tito mengklaim memperpendek masa kampanye juga bertujuan untuk "mengurangi durasi lamanya keterbelahan masyarakat dan tensi politik daerah yang berpotensi mengganggu stabilitas pemerintahan politik dan keamanan".
Ketiga, memperpendek durasi sengketa pencalonan kepala daerah. Caranya dengan menghapus proses penyelesaian sengketa di Mahkamah Agung. Dengan demikian, penyelesaian sengketa hanya dua tingkat, yakni di Bawaslu dan final di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Tito mengatakan, pemangkasan durasi sengketa pencalonan ini bertujuan untuk memastikan tidak ada kendala waktu dalam penyediaan dan pendistribusian logistik Pilkada 2024, mengingat masa kampanye didesain cuma 30 hari.
Keempat, menyerentakkan pelantikan anggota DPRD supaya ada keselarasan masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah. Rapat kerja ini menghasilkan dua kesimpulan.
Pertama, Komisi II DPR RI memahami niat pemerintah mempercepat pilkada. Kedua, Komisi II DPR RI akan segera membahas lebih lanjut substansi Perppu Pilkada bersama Mendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP, meski pembuatan perppu merupakan kewenangan pemerintah.