REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nivia (Mahasiswa Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada)
Dalam sejarah manusia, tanah selalu memegang peranan penting. Sekalipun hak atas tanah tidak memiliki konstruksi yang independen dalam diskursus hak asasi manusia (HAM), pemenuhan berbagai HAM eksisting seperti hak atas hidup, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas kesehatan, hingga hak beragama bergantung pada kepemilikan atas tanah.
Keterkaitan ini terlihat jelas dalam hak ulayat yang selalu digambarkan melalui relasi sentral antara masyarakat hukum adat dengan tanah leluhurnya. Relasi ini dipertegas dalam bagian II International Labour Convention Nomor 169 on the Rights of Indigenous and Tribal Peoples 1989 atau Konvensi Organisasi Buruh International Nomor 169 tentang Hak Masyarakat Adat dan Kesukuan.
Berkaitan dengan sentralitas tersebut, kepemilikan dan kontrol atas tanah seringkali menjadi sarana opresi. Untuk menghancurkan suatu kelompok tertentu, penguasa dapat merampas kepemilikan kolektif atas tanah dan dengan demikian sekaligus menghancurkan sumber kehidupan kelompok tersebut. Implikasinya, anggota kelompok akan mengalami penurunan kualitas hidup bahkan berujung pada kematian, sedangkan mereka yang bertahan dipaksa masuk ke dalam sistem dominan sebagai buruh kapital. Mengutip Jeremie Gilbert (2013), pola represi inilah yang dilakukan pada politik Apartheid di Afrika Selatan dan konflik wilayah antara Palestina dengan Israel.
Apabila dianalisis lebih jauh, keinginan untuk menguasai suatu wilayah beserta sumber daya tenurialnya yang berujung pada perampasan hak-hak masyarakat adalah fondasi kolonialisme. Bagi para pemikir kolonial Inggris, tanah merupakan sumber daya yang diperintahkan oleh Tuhan untuk diolah oleh manusia. Hukum alam menghendaki manusia untuk menundukkan alam dalam bentuk penggarapan tanah sehingga sistem kehidupan masyarakat lokal yang hanya mengambil sumber daya alam secukupnya tanpa melakukan penggarapan tanah dianggap tidak memenuhi hukum alam.
Kegagalan masyarakat lokal untuk memenuhi kriteria hukum alam akhirnya menjadi sarana penjajah untuk mengecap sebagian bangsa sebagai tidak beradab dan bersamaan dengan ketidakberadaban tersebut lahir kewajiban untuk memberadabkannya oleh bangsa Eropa. John Locke (w. 1704 M), sarjana Inggris yang pemikirannya berkontribusi besar terhadap perkembangan HAM dan liberalisme, dalam Second Treatise of Government bahkan menggunakan parameter pengelolaan tanah sebagai penentu apakah suatu bangsa dapat dikatakan berdaulat atau tidak.
Dalam konteks kolonialisme di Indonesia, pola pikir serupa dapat ditemukan melalui konsep Domein Verklaring pada Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) 1870. Domein Verklaring merupakan pernyataan bahwa negara memiliki seluruh tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya. Tanah-tanah tersebut kemudian dimiliki secara perdata oleh negara dan dialihfungsikan untuk kepentingan kapital.
Konsep pemilikan oleh negara ini jelas mencabut dan tidak mengindahkan hak-hak masyarakat yang saat itu sebagian besar kepemilikannya tidak tertulis di atas kertas. Pada intinya, ada satu benang merah penghubung sistem kolonial satu dengan yang lain, yakni tanah harus dimanfaatkan secara aktif sebagai kapital, mereka yang tidak mengelola secara aktif atau sekalipun melakukan pengelolaan, tetapi tidak dapat membuktikan kepemilikan secara formil akan kehilangan hak atas tanah tersebut.
Kemerdekaan bangsa Indonesia tidak lantas menghilangkan pola pemanfaatan tanah dengan paradigma pelanggaran HAM. Sebaliknya, perlombaan negara-negara menjadi pusat baru pertumbuhan kapital dunia telah mendorong terjadinya fenomena land rush, yakni apropriasi lahan dalam jumlah besar pada beberapa tahun terakhir. Alih-alih mengalami ‘humanisasi’ akibat gerakan HAM pasca reformasi, tata cara pengambilan tanah dibuat sedemikian rupa sehingga terlihat humanis secara formil, tetapi anarkis dalam praktik.
Pada dasarnya, replikasi dan eksemplifikasi pola pikir kolonial diterapkan dengan aktor yang berbeda, yakni pemerintahan vis à vis masyarakat hukum adat. Hal ini tampak dari bagaimana konstruksi hukum mewajibkan masyarakat hukum adat untuk mendapatkan pengakuan formil terlebih dahulu sebelum dapat melakukan klaim hak atas tanah ulayat. Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat menetapkan secara rigid syarat-syarat suatu hak ulayat dapat dikatakan ada dan suatu masyarakat hukum adat dapat dikatakan eksis. Dengan demikian, pengakuan dan perlindungan tidak diperoleh secara serta merta, tetapi harus melalui prosedur formil.
Lebih jauh, sebagaimana analisis van der Muur (2018), prosedur formil ini pun tidak bergantung sepenuhnya pada hukum, tetapi melibatkan kedekatan informal antara masyarakat hukum adat dengan Bupati/Walikota setempat. Penelitian oleh van der Muur terhadap komunitas Ammatoa Kajang dan Sinjai Barat menunjukkan bagaimana relasi yang baik dengan birokrat lokal membuka jalan pengakuan secara hukum. Hal ini tidak lain merupakan akibat dari Pasal 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang memberikan diskresi penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat kepada Bupati/Walikota setempat.
Lantas, apakah setelah berhasil memperoleh penetapan wilayah adat masyarakat dapat menikmati hak itu secara penuh? Tidak. Perlu digarisbawahi, bahkan dari jenjang konstitusi, pengakuan dan penghormatan atas masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya telah dibatasi sepanjang: 1) masih hidup; 2) sesuai dengan perkembangan masyarakat; 3) sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Pembatasan demikian terlihat lebih jelas pada konteks pertanahan. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria membatasi bahwa pelaksanaan hak ulayat harus sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan asas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi.
Ketentuan demikian memperkuat posisi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Melalui PP ini, diatur tahapan-tahapan pengadaan tanah, termasuk tanah yang merupakan hak ulayat, untuk proyek strategis nasional (PSN). Pelibatan masyarakat hanya sampai di tahap konsultasi. Bagaimana pun hasil dari konsultasi tersebut, pemerintah tetap akan mendapatkan tanah dengan ganti rugi yang dititipkan apabila masyarakat tetap menolak (lembaga konsinyasi).
Penelitian oleh Shelvi Manurung, dkk. (2019) menunjukkan bahwa mekanisme penitipan ganti rugi tidak menyelesaikan ketegangan antara developer dan masyarakat. Resistensi masyarakat justru ditunjukkan dengan cara tidak mengambil uang ganti rugi yang dititipkan ke pengadilan. Boedi Harsono (2007) menegaskan bahwa melalui lembaga konsinyasi, masyarakat seolah-olah hanya memiliki satu pilihan, yakni mengambil uang ganti rugi atau tidak mendapatkan apapun. Dengan demikian, ruang gerak masyarakat untuk memperjuangkan HAM mereka yang bergantung pada hak atas tanah dipersempit bahkan dihilangkan.
Hal inilah yang terjadi pada kasus Pembangunan jalan tol ruas Padang-Sicincin di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat tahun 2019. Masyarakat Nagari Kasang yang wilayahnya terkena proyek pembangunan harus menerima ganti rugi sebagai keputusan final pemerintah walaupun dalam prosesnya terjadi ketidakpuasan atas jumlah yang diterima, proses penetapan secara sepihak, hingga minimnya sosialisasi pembangunan. Kasus yang sama juga terjadi pada pembangunan Waduk Lambo yang mengambil ruang hidup masyarakat adat Rendu, Ndora, dan Lambo pada tahun 2021 di Nusa Tenggara Timur.
Di sisi lain, mekanisme konsultasi jelas bertentangan dengan Pasal 10 United Nations Declaration on The Rights of Indigenous People 2007 atau Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, di mana Indonesia termasuk salah satu negara yang mendukung deklarasi ini, yang mensyaratkan free, prior, and informed consent (FPIC). FPIC sendiri merupakan mekanisme pengambilan konsensus yang mana konsensus itu diberikan secara bebas, didahulukan, dan berdasarkan informasi yang lengkap.
Terdapat perbedaan praktik yang besar antara konsensus dan sekadar konsultasi. Melalui konsultasi, pemerintah hanya memiliki kewajiban hukum untuk menjelaskan, memberitahukan, dan mendengarkan. Apakah nanti aspirasi tersebut dipertimbangkan dalam melakukan pembangunan dan pengambilalihan ruang hidup masyarakat merupakan urusan lain. Sementara itu, konsensus mensyaratkan adanya persetujuan sehingga pembangunan tidak boleh berjalan tanpa perolehan persetujuan masyarakat yang akan diambil tanahnya. Maka dari itu, apapun jenis pembangunannya, jika dilabelkan sebagai PSN, masyarakat hukum adat harus siap kehilangan tanah ulayatnya. Seiring dengan hilangnya akses pada tanah, pemenuhan HAM yang lain pun ikut tercerabut.
Gejala perampasan hak atas tanah yang berujung pada penurunan kualitas hidup masyarakat adat merupakan pola berulang dari apa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap wilayah jajahannya. Perbedaan di antara keduanya hanya terletak pada rantai birokrasi yang diperpanjang dengan melakukan konsultasi seolah-olah pengadaan tanah dilakukan secara humanis. Padahal, di mana signifikansi partisipasi tanpa kewenangan pengambilan keputusan?
Menariknya, kolonialisme juga diawali dengan 'diskusi' antara calon penjajah dan terjajah. Apabila si terjajah menolak, hal ini menurut doktrin pemikir kolonial Fransisco de Vitoria (w. 1546 M), merupakan act of war terhadap penjajah yang harus dilawan. Ketika hari ini penolakan masyarakat hukum adat atas pemanfaatan tanahnya untuk PSN bisa dicap sebagai hambatan bagi 'kepentingan umum' lalu dikesampingkan seenaknya, mungkin kita harus bertanya: Kok déjà vu?