Senin 13 Nov 2023 19:12 WIB

Lewat Artha Dharma, Ketut Lestarikan Budaya Tenun Kain Khas Bali

Ketut menyebut, Artha Dharma merupakan upayanya meneruskan warisan leluhur.

Pengrajin menyelesaikan pembuatan kain tenun pada gelaran International Handicraft Trade Fair (Inacraft) on October 2023 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Sabtu (7/10/2023). Inacraft 2023 kembali digelar dengan menyajikan sebanyak 772 stan produk kerajinan UMKM dari dalam negeri hingga luar negeri yang berlangsung hingga besok 8 Oktober 2023.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pengrajin menyelesaikan pembuatan kain tenun pada gelaran International Handicraft Trade Fair (Inacraft) on October 2023 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Sabtu (7/10/2023). Inacraft 2023 kembali digelar dengan menyajikan sebanyak 772 stan produk kerajinan UMKM dari dalam negeri hingga luar negeri yang berlangsung hingga besok 8 Oktober 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Usaha pertenunan Artha Dharma dimulai dirintis oleh Ketut Rajin (57) dan istrinya, Made Endang Erawati pada 2002. Lebih dari 20 tahun berjalan, Artha Dharma masih eksis. Namun, Ketut kini mengelolanya tanpa sang istri yang telah berpulang setahun lalu. 

Artha Dharma, salah satu usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) binaan PT HM Sampoerna Tbk (Sampoerna) melalui Sampoerna Entrepreneurship Training Center (SETC) di bawah Payung Program Keberlanjutan 'Sampoerna Untuk Indonesia', kerap memamerkan berbagai produknya dalam gelaran pameran nasional maupun internasional. 

Ketut menyebut, Artha Dharma merupakan upayanya meneruskan warisan leluhur, berupa budaya menenun yang sudah berlangsung turun-temurun. Tak ingin budaya menenun punah, inilah alasan Ketut merintis pusat pelatihan dan pengembangan tenun 'Artha Dharma' di Desa Sinabun, Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali. 

“Saat itu, melihat kondisinya, pertenunan di sini sudah mau punah. Jadi, saya berpikir bagaimana melestarikan budaya menenun supaya tidak punah,” kata Ketut dalam siaran pers, Senin (13/11/2023).

Ia pun mulai membangun pusat pelatihan dan pengembangan tenun dengan memberikan pelatihan menenun kepada penduduk di Desa Sinabun. Mereka di antaranya terdiri dari para ibu rumah tangga dan anak muda putus sekolah yang belum memiliki pekerjaan. Ratusan orang telah dibekali keterampilan menenun di Artha Dharma.  

Artha Dharma tak hanya memberikan pelatihan terkait menenun, tetapi juga memproduksi berbagai produk tenun. Pertenunan Artha Dharma memproduksi kain tradisional Bali berupa kain endek dan kain songket dengan alat tenun konvensional. Tujuannya untuk melestarikan budaya agar langgeng.

Menurut Ketut, usahanya ini melibatkan para penenun yang tersebar di sekitar lokasi workshop. Sementara, yang terpusat dan terlibat dalam produksi Artha Dharma dari hulu ke hilir ada sekitar 30 orang. 

Proses produksi di Artha Dharma berlangsung dari pengolahan bahan mentah hingga berwujud produk jadi. Ketut menjelaskan, ulat sutera yang menjadi sumber utama kain tenun dibudidaya secara mandiri. 

“Mulai dari budidaya ulat sutera, penetasan telur, kami rawat, kasih makan, kurang lebih selama 28 hari untuk dapat cocoon. Cocoon ini kemudian dipintal jadi benang untuk diolah menjadi tenun maupun songket dari sutera alam,” papar Ketut. 

Pewarnaan yang digunakan pun beragam. Namun, mayoritas produk tenun Artha Dharma menggunakan pewarna alam dari aneka tumbuhan.   

Turun-temurun

Ketut mengungkapkan, sejak kecil ia terbiasa melihat orang tua, keluarga, dan orang-orang di sekitarnya menenun. Bahkan, orang dulu, kata Ketut, harus bisa menenun jika ingin memiliki dan memakai kain tenun.

“Dulu, zaman ibu saya, dipaksa menanam tanaman kapas. Mereka harus bisa menenun. Ibu saya, kalau tidak bisa menenun, tidak boleh pakai kain. Karena sering melihat itu, saya jadi terbiasa, dan belajar soal tenun,” kata Ketut.  

Dari sinilah asal muasal kecintaan Ketut terhadap tenun dan menjadi alasan Ketut mendirikan pusat pelatihan dan pengembangan tenun Artha Dharma. Ia menjelaskan, misi pertamanya adalah melestarikan budaya menenun sebagai budaya Bali. 

"Menenun jadi budaya di Bali karena ada kaitannya dengan upacara adar. Kain yang dihasilkan banyak untuk upacara adat, misalnya Ngaben, atau upacara lainnya yang banyak memakai tenun Bali," ujar Ketut.

Misi kedua, meningkatkan perekonomian warga melalui tenun. Ia menyebutkan, dengan lestarinya pertenunan, banyak orang yang mendapatkan kesempatan menjadi penenun, dan berdaya secara ekonomi. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement