Jumat 17 Nov 2023 07:20 WIB

RS Baptis Al Ahli Satu-satunya Rumah Sakit yang Masih Berfungsi di Gaza

Rumah sakit terbesar RS Al Shifa tak dapat digunakan karena pengepungan Israel.

Rep: Rizki Jaramaya/ Red: Fernan Rahadi
Kondisi Rumah Sakit Indonesia di Gaza, Rabu (1/11/2023).
Foto: AFP/Bashar Taleb
Kondisi Rumah Sakit Indonesia di Gaza, Rabu (1/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Rumah Sakit Baptis Al Ahli adalah satu-satunya rumah sakit yang masih berfungsi di Kota Gaza meskipun kekurangan peralatan dan pasokan medis. Direktur Operasi dan Darurat di Rumah Sakit Baptis Al Ahli, Ahmad Al-Louh pada Rabu (15/11/2023) mengatakan, rumah sakit memberikan pertolongan pertama, dan orang yang terluka harus menunggu dalam antrian panjang untuk operasi medis.

Al-Louh mengatakan, dalam situasi saat ini, rumah sakit dan staf medisnya tidak dapat memberikan layanan kesehatan yang baik. Perpustakaan rumah sakit diubah menjadi ruang penerimaan pasien dan pembalut luka.

Baca Juga

"Kita semua terpapar bahaya setiap hari dan setiap saat," ujar Al-Louh, dilaporkan Anadolu Agency, Kamis (16/11/2023).

Pada 17 Oktober, setidaknya 471 orang meninggal dan banyak yang terluka dalam serangan udara Israel di Rumah Sakit Baptis Al Ahli. Namun Israel menyangkal bertanggung jawab atas serangan tersebut. Israel justru menuduh roket pejuang Palestina yang salah sasaran sehingga menghantam rumah sakit itu. Namun berbagai macam bukti menunjukkan bahwa roket yang menghantam Rumah Sakit Baptis Al Ahli berasal dari Israel.

Pada Rabu, Rumah Sakit Al Shifa, yang merupakan rumah sakit terbesar di Gaza digerebek oleh tentara Israel. Rumah sakit itu tidak dapat digunakan karena pengepungan Israel, kekurangan listrik, pasokan air, dan makanan.

Kantor media pemerintah di Gaza mengatakan, tentara Israel sejauh ini telah menargetkan 52 pusat kesehatan dan 55 ambulans di seluruh Gaza. Sementara 25 rumah sakit kehabisan layanan karena pengeboman atau kekurangan bahan bakar dan pasokan medis.

Sejak 7 Oktober, setidaknya 11.500 warga Palestina telah terbunuh, termasuk lebih dari 7.800 perempuan dan anak-anak. Sementara lebih dari 29.200 lainnya terluka akibat pengeboman Israel yang membabi buta.

Ribuan bangunan, termasuk rumah sakit, masjid, dan gereja, juga telah rusak atau hancur akibat serangan udara dan darat yang tiada henti dari Israel. Sementara itu, Israel mengklaim korban tewas di pihak mereka adalah sekitar 1.200 orang.

Ratusan pengacara dunia bersatu untuk melaporkan Israel ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas tuduhan genosida dan kejahatan perang. Pengacara kawakan Prancis, Gillers Devers mengatakan, Israel telah memenuhi kriteria untuk dijerat kasus hukum tentang genosida terhadap rakyat Palestine. Referensi atas kasus tersebut yaitu kasus Srebrenica yaitu pembantaian terhadap etnis Muslim Bosnia, dan pembantaian terhadap etnis Muslim Rohingya di Myanmar.

"Jadi ini bukan pendapat saya, ini adalah realitas hukum, bahkan untuk genosida buktinya sangat sederhana dan sudah ada semua," ujar Devers, dilansir Aljazirah, Rabu (15/11/2023).

Devers menjelaskan, bukti kuat yang dapat menjerat Israel dengan tuduhan genosida adalah ketika mereka menghentikan pasokan listrik dan makanan. Bukti lainnya yaitu, Israel meminta warga Gaza untuk mengungsi, dan meninggalkan rumah mereka di bawah kekuasaan Israel.

"Jadi sebenarnya tidak ada kesulitan (pembuktiannya), jadi kita punya konsep hukum untuk bertindak dan ketika kami mulai menulis pengaduan ada 400 pengacara (yang maju), dan semua orang di dunia tertarik dengan pertanyaan ini," ujar Devers.

Devers mengatakan, langkah pertama untuk menjerat Israel di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) adalah kesaksian. Semua orang di dunia melihat secara langsung tragedi yang sedang terjadi di Gaza. Israel mengebom warga sipil Gaza setiap hari selama lebih dari satu bulan tanpa henti. Ketika orang-orang melihat tragedi itu, maka semua akan membicarakannya ketika menghadap hakim. Kemudian, langkah kedua yaitu kesaksian korban. Devers mengatakan, kelompok pengacara telah menerima mandat dari warga Palestina di Gaza.

"Kami menerima mandat dari warga Palestina dari Gaza, jadi kami mulai dengan rumah sakit, dan ada juga keluarga (dari Gaza yang menjadi korban genosida)," ujar Devers.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement