Rabu 06 Dec 2023 00:19 WIB

Kurang Sejahtera Jadi Alasan Profesi Petani Kurang Diminati

Pemerintah harus berusaha terlibat secara langsung dalam kebijakan pertanian.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Yusuf Assidiq
Petani memanen tanaman padi secara tradisional di persawahan (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Petani memanen tanaman padi secara tradisional di persawahan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BOJONEGORO -- Jumlah petani di Indonesia terus mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini karena profesi tersebut dianggap kurang diminati oleh masyarakat.

Petani asal Bojonegoro, Bahrudin (31 tahun), tidak menampik profesi petani memang terus mengalami penurunan di daerahnya. "Kalau melihat kondisi di desa memang benar. Kalau dibuat perbandingan 10 berbanding satu yang mau meneruskan jadi petani," kata pria disapa Udin ini saat dihubungi Republika, Selasa (5/12/2023).

Masyarakat kurang berminat menjadi petani karena dianggap kurang menyejahterakan. Hasil dari pertanian dirasa hanya mampu untuk memperbarui keuangan. Ditambah lagi, biaya operasional dan hasil dari pertanian tidak seimbang jika menunggu hasil panen padi yang tiga bulan sekali.

Faktor keuangan membuat pemuda di desanya lebih memilih ikut bekerja di proyek-proyek di kota. Profesi bekerja di kota lebih dipilih walaupun hanya sebagai buruh kuli bangunan.

Udin sendiri memilih menjadi petani karena meneruskan usaha keluarganya. Selain itu, dia juga memiliki usaha lain untuk mengimbangi pemasukan. Usaha lain yang dimaksud, yakni menjual bahan-bahan pertanian di tokonya.

Menurut Udin, pemerintah harus berusaha terlibat secara langsung dalam kebijakan pertanian apabila ingin meningkatkan jumlah petani. Merujuk cerita masyarakat dewasa di masa pemerintahan sebelum reformasi, harga pertanian sangat diperhatikan oleh pemerintah.

"Misal harga panen ditentukan oleh pemerintah, harga itu sampai ke petani dan semua tengkulak harus sesuai aturan pemerintah. Tidak seperti sekarang yang harga ditentukan oleh pembeli (bakol)," jelasnya.

Selain itu, harga pupuk di masa lampau lebih mudah didapatkan oleh petani. Hal ini karena harganya tidak semahal sekarang. Sebab itu, dia menyarankan pemerintah untuk memerhatikan masalah tersebut apabila ingin meningkatkan jumlah petani di Indonesia.

Pada kesempatan lain, warga Malang, As'ad Syamsul Arifin mengaku memiliki lahan padi di daerah asalnya, yakni Kabupaten Bojonegoro. Ia lebih memilih merantau di Malang lalu menjadi pegawai swasta dibandingkan menjadi petani.

Adapun lahan pertaniannya di Bojonegoro dikelola oleh orang lain yang dianggap mampu mengelola. Menurut As'ad, pekerjaan petani itu terlihat sulit sehingga dia tidak mau menjalani profesi tersebut.

Petani baru mendapatkan uang setelah tiga atau empat bulan sekali yakni saat panen. "Sementara untuk biaya operasional seperti pupuk dan perawatan selalu dikeluarkan dari masa tanam hingga jelang panen," ungkapnya.

Harga jual saat panen juga sering tidak stabil. Ditambah lagi, kerja sebagai petani juga menuntut fisik yang kuat. Jika tidak terbiasa, maka tidak akan mampu mengelolanya.

Guna meningkatkan jumlah petani, pemerintah memang harus menyediakan perlengkapan pertanian seperti pupuk dengan harga murah. Kemudian hasil penjualan pertanian seperti padi harus stabil.

"Kalau mau itu ya, harus ada penyuluhan pemakaian teknologi baru. Bukan hanya penyuluhan tetapi juga harus ada pendampingannya," kata dia menambahkan.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah petani Indonesia sejak 2013 terus mengalami penurunan. Saat ini, jumlah petani di Indonesia sebanyak 29,3 juta petani, berkurang dari 2013 yang mencapai 31 juta petani.

Petani di Tanah Air juga didominasi petani berusia tua. Sekretaris Utama BPS Atqo Mardiyanto mengatakan, meski jumlah Usaha Pertanian Perorangan (UTP) menurun, tapi untuk rumah tangga usaha pertanian (RTUP) naik 8,74 persen. Saat ini, ada 28,4 juta RTUP di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement