Ahad 25 Feb 2024 13:01 WIB

Mengkaji Pentingnya Ruang Ketiga dalam Dunia Pendidikan 

Menurut Rizal, esensi pendidikan bukan hanya sekadar membangun infrastruktur.

Rep: Muhammad Noor Alfian Choir/ Red: Fernan Rahadi
Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal, berbicara pada acara Ruang Ketiga di Pendidikan di SMKN 8 Solo, Sabtu (24/2/2024).
Foto: GSM
Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal, berbicara pada acara Ruang Ketiga di Pendidikan di SMKN 8 Solo, Sabtu (24/2/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO --  Interaksi antara guru dan murid yang sama-sama bahagia adalah salah satu yang dapat menjadikan sekolah menjadi ruang ketiga. Dari interaksi yang bahagia tersebut diharapkan dapat memicu produktivitas dalam pembelajaran.

"Harapannya guru yang bahagia akan berdampak bagi interaksi antara guru dan muridnya. Kalau keduanya bahagia menjadi produktif, sehingga kalau produktif ada dampak pada dunia pendidikan kita," kata Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, dalam acara 'Ruang Ketiga di Pendidikan' yang digelar di SMKN 8 Solo, Sabtu (24/2/2024).

"Jadi tidak hanya sekedar menghasilkan lulusan tetapi lemah pemahaman, tidak sekedar meningkatkan literasi numerasi sains PISA tetapi tidak punya dampak bagi produktivitas dan inovasi. Tetapi pendidikannya lebih bisa menjawab dan menghadapi kenyataan hidup dan tantangan masa depan," katanya lagi.

Menurut Rizal, esensi pendidikan juga bukan hanya sekadar membangun infrastruktur. Ia menegaskan esensi pendidikan adalah kehadiran ruang-ruang kebersamaan, dialog, imajinasi, dan dialektika yang setara bagi semua individu yakni ruang ketiga itu sendiri. 

"GSM ini membangun kecerdasan berpikir secara fundamental bukan infrastruktur. Bukan hebatnya fasilitas, tetapi adalah ruang-ruang ketiga yang diciptakan, ruang-ruang kebersamaan, ruang berdialektika, ruang berimajinasi, secara setara. Walaupun sekolahnya mungkin tidak punya kurikulum, tidak mempunyai nilai akademik, tetapi mampu menciptakan siswanya yang bisa mengubah keadaan dirinya sendiri," katanya. 

Di sisi lain, Rizal mengungkapkan faktor stagnasi kualitas pendidikan Indonesia meskipun telah berpuluh kali berganti kurikulum sejak merdeka. Ia menyebutkan alasannya adalah masih adanya pola feodalisme di masyarakat dan formalisme di dunia pendidikan. 

"Kualitas PISA kita 20 tahun nilai kita malah turun. Kita di angka 620-an, kita mengalami penurunan 10-15 poin. Jadi yang dilakukan teman-teman di masyarakat itu adalah membongkar tradisi formalisme," katanya. 

"(Dunia pendidikan) kita mau kemana? Kita masih terjebak di masyarakat formalis karena budayanya feodal. 'Asal bapak senang' ini masih mengakar, walaupun ada reformasi," katanya menambahkan. 

Di sisi lain, Rizal mengungkapkan keprihatinannya akan hilangnya ruang ketiga pendidikan yang digantikan oleh kehadiran kecerdasan buatan (AI). Di tengah prediksi bahwa pada tahun 2045 AI akan mencapai kecerdasan singularitas yang mampu memanipulasi cara berpikir manusia, ruang ketiga diharapkan dapat menjadi benteng untuk merawat kodrat bawaan manusia dari tergantikan oleh AI.

"Ruang ketiga, saat ini sudah banyak yang hilang dan digantikan dengan AI. Tahun 2045, AI diprediksi akan memiliki kecerdasan singularity. AI berpotensi dapat memanipulasi cara berpikir dan perasaan manusia, bahkan AI bisa menciptakan tujuan hidupnya sendiri. Ruang ketiga akan membantu manusia merawat kodrat bawaan manusia agar tidak tergantikan oleh AI," katanya.

Sementara itu, guru asal SMKN Jambu Semarang Muhammad Ali Sodikin mengatakan ruang ketiga adalah sebuah refleksi. Salah satunya implementasi adalah dialog antar siswa yang berbeda jenjang pendidikan. 

"Dari forum tersebut empat siswa tumbuh, kalau seandainya ini menjadi budaya di dunia pendidikan Indonesia, saya membayangkan yang namanya bullying dan kekerasan bisa terbentengi dan turun karena tumbuh kasih sayangnya antar siswa," katanya. 

Kepala Seksi SMA/SLB mewakili Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VII Provinsi Jateng Edi Purwanto, menambahkan tantangan terbesar dunia pendidikan adalah menciptakan sekolah menyenangkan agar perundungan (bullying) tidak lagi merajalela. Dia berharap GSM tidak hanya wacana tetapi menjadi gerakan nyata yang menginspirasi untuk mengembalikan ruang ketiga dalam pendidikan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement