Oleh : Dr. Qurratul Aini, M.Kes., CP.NLP (Dosen Prodi Magister Manajemen Rumah Sakit UMY)
REPUBLIKA.CO.ID, Berbicara tentang ibu maka membuka lembaran yang luas dan mendalam tentang kehidupan manusia. Wanita memiliki peran yang tak ternilai dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Mereka bukan hanya pendamping hidup, tetapi juga pilar-pilar utama dalam pembangunan sosial dan ekonomi.
Dalam Islam, kedudukan seorang ibu dianggap sangat mulia dan penting. Ibu memiliki peran yang tak tergantikan dalam membentuk karakter, memberikan kasih sayang, serta mendidik anak-anaknya dengan nilai-nilai agama dan moral. Kedudukan ibu dalam Islam tercermin dalam beberapa ayat Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW.
Salah satu ayat yang menegaskan kedudukan ibu dalam Islam terdapat dalam Surah Luqman ayat 14, di mana Allah SWT berfirman:
"Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu." (QS. Luqman: 14). Dari ayat tersebut, kita bisa melihat betapa besar peran ibu dalam mengandung, melahirkan, menyusui, dan mendidik anak-anak. Bahkan Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, "Surga ada di telapak kaki ibu" (HR. Ahmad).
Kini, kesadaran akan pentingnya memuliakan ibu semakin berkembang. Wanita bukanlah sekadar makhluk yang melahirkan anak atau menjalankan peran domestik, tetapi mereka juga memiliki potensi besar dalam segala aspek kehidupan. Seorang Ibu yang sempurna adalah mereka yang mampu menemukan kekuatan dalam kelemahan, dan keindahan dalam ketidaksempurnaan. Bahkan dalam kesederhanaan dan kerendahan hati, ibu tetap menjaga keanggunan dan kelembutan yang unik.
Peran ibu dalam menciptakan harmoni dalam keluarga, memberdayakan masyarakat melalui keterlibatan aktif mereka dalam berbagai bidang, dan memimpin negara dengan kecerdasan dan kebijaksanaan adalah hal yang tak dapat dipandang remeh. Seorang ibu adalah agen perubahan yang mampu menginspirasi dan menggerakkan banyak orang menuju ke arah yang lebih baik.
"Seorang anak yang rusak masih bisa menjadi baik asal ia pernah mendapatkan pengasuhan seorang ibu yang baik. Sebaliknya, seorang ibu yang rusak akhlaknya, hanya akan melahirkan generasi yang rusak pula akhlaknya. Itulah mengapa yang dihancurkan pertama kali oleh Yahudi adalah wanita."
Ucapan diatas dilontarkan oleh Muhammad Quthb, seorang ulama Mesir yang concern terhadap pendidikan Islam sekaligus pemikir ulung abad 20, yang juga merupakan seorang profesor Kajian Islam dari Universitas Arab Saudi.
Menurut beliau, anak yang pada perkembangannya mengalami degradasi moral (“nakal”) masih akan bisa diatasi, asal sang anak pernah mendapatkan pengasuhan ibu yang solihah. Pendidikan Islami yang terinternalisasi dengan baik, akan membuat sang anak lekas bangkit dari keterpurukannya dengan mengingat ucapan dan contoh perilaku yang pernah terekam dalam ingatannya. Semua yang dilihat didengar diperhatikan dan dirasakan dari lingkungannya pasti memorable dalam benak anak-anak.
Tidak peduli apakah ibu yang bekerja atau ibu yang berada di rumah, menjadi ibu itu sulit.
Bagi saya, tak masalah siapa pun kita apakah ibu yang bekerja atau tinggal di rumah. Tetap saja sekitar akan memberi kritik atas pilihanmu. Yang terpenting adalah hanya perlu melakukan yang terbaik untuk diri kita dan untuk keluarga.
Pada sisi yang lain, suami yang memiliki istri yang agak “mlengse” moral, habit dan perilakunya, maka ia pun hanya akan melahirkan sebuah keturunan yang memiliki kepribadian persis dengan wanita yang dipinangnya. Itulah mungkin mengapa sebejat-bejatnya lelaki pasti dia tetap berkeinginan memiliki pasangan yang terbaik dalam pandangannya.
Sifat alami anak yang banyak meniru perilaku sang ibu akan membuka peluang penyaluran sifat alami ibu kepada anaknya. Dan hal ini pun dibuktikan dengan hasil penelitian yang dipublikasikan di Jurnal Current Dirrections In Psychological Science, Amerika Serikat. Di situ dipaparkan bahwa bounding ibu dan anak semasa kecil dapat memprediksi perilaku romantis anak di kemudian hari. Anak-anak yang merasa aman dengan ibunya, ketika kelak terbentur dengan persoalan hidup, akan mampu menguraikannya dengan self defence yang seimbang, mampu membangun kepercayaan diri dengan self determination yang baik.
Pada akhirnya jika ditarik sebuah negasi dari pemaparan hasil penelitian tersebut, disimpulkan bahwa kerusakan anak akan sangat tergantung dari kerusakan ibu yang mendidiknya.
Jadi, janganlah bangga menjadi perempuan kuat sudah melahirkan, mengasuh, membesarkan anak-anak dengan segala daya upayanya sampai memilih resign kerja demi anak-anak katanya, tetapi sebenarnya itulah sudah khittahnya seorang ibu.
Jadi, kurangilah kebanggaan mengekspos bahwa hanya ibu yang bisa begini begitu, hanya “emak-emak” yang bisa multitalenta mulai dari jadi supir, pelayan, guru sampe dokter buat keluarganya katanya, tetapi sebenarnya itulah sudah takdirnya seorang ibu.
Jadi, hilangkanlah kepuasan diri menjadi ibu-ibu yang seolah-olah paling hebat, “the power of emak-emak” katanya, tapi sebenarnya itulah kodratnya seorang ibu.
Rasa bangga menjadi ibu adalah sekedar apresiasi, minimal untuk diri sendiri. Apalagi untuk para ibu yang telah dengan berat hati “terpaksa” melepaskan karir yang tak hanya ia sendiri yang mencita-citakan, bahkan melibatkan peluh dan doa ibu ayahnya juga untuk mewujudkannya.
Untuk para ibu yang sedang mengalami masa-masa sulit karena transisi 'power syndrome', saling men-support dengan sekedar memberi secuil rasa bangga atas apa yang diputuskan merupakan stress healing paling mudah.
Bangga hanya sebatas pada afirmasi positif meyakinkan diri bahwa kita beruntung menjadi perempuan dan menerima itu sebagai taqdirulloh. Dengan begitu Insya Allah akan ada ikhtiar untuk berproses menjadi 'Ibu' yang baik. Bukan untuk diekspose seakan menunjukkan eksistensi diri yang berlebihan.
Dia akan dipanggil 'ibu' karena setiap hari berpikir kreatif cara membuat lingkungannya selalu nyaman dan bahagia.
Jadilah Ibu yang bermanfaat untuk semua umat (dunia),
Kalau belum bisa, Jadilah Ibu yang bermanfaat untuk semua orang dalam lingkungan keseharian,
Kalau belum bisa, Jadilah Ibu yang bermanfaat setidaknya untuk tetanggamu,
Kalau belum bisa, Jadilah Ibu yang bermanfaat yang hanya dapat dirasakan oleh suami dan anak-anakmu,
Kalau belum bisa, Jadilah Ibu yang setidaknya tidak merepotkan orang lain.
Ringankanlah bebanmu wahai para ibu dengan menjadi sosok ibu yang kau inginkan, bukan menjadi ibu yang orang lain harapkan. Karena menjadi ibu pekerja bukan berarti keluarga bukanlah prioritas utama.
Menjadi ibu pekerja tidak membuatmu menjadi ibu rumah tangga yang buruk. Sebaliknya, menjadi ibu rumah tangga tidak membuatmu menjadi pekerja yang buruk.
Cintailah pekerjaan, dan cintailah keluarga. Jadilah wanita karier yang hebat, dan jadilah ibu rumah tangga yang juga hebat. Karena sesungguhnya ibu yang bahagia adalah ibu yang baik. Dan jika bekerja baik dalam ranah publik maupun domestik bahkan keduanya sekaligus membuat kita tersenyum, maka seluruh keluarga pasti ikut tersenyum dan bahagia bersama.
Jangan pernah merasa bersalah karena mencoba melakukan yang terbaik untuk pencapaian diri sendiri dan keluarga karena memang tidak ada cara untuk menjadi ibu yang sempurna. Tetapi ada sejuta cara untuk menjadi ibu yang baik.
Pada hakikatnya keseimbangan antara keluarga dan pekerjaan tidak akan pernah ada. Yang ada harus bisa memadukan keduanya. Keluarga adalah yang terpenting dan pekerjaan juga merupakan bagian besar dari perjalanan hidup kita. Buatlah orang-orang yang bersama kita memahaminya untuk mencapai kebahagiaan semuanya.
Karenanya, penting bagi masyarakat untuk terus memahami, menghormati, dan mendukung peran ibu dalam semua aspek kehidupan. Ibu adalah cermin dari kekuatan, kelembutan, dan kebijaksanaan yang tak terbatas.