Sabtu 01 Jun 2024 14:32 WIB

‘Kasat-Kusut Pendidikan’ Singgung UKT hingga Kualitas Guru

Tidak banyak inovasi yang lahir di Indonesia jika dibandingkan dengan Cina.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Fernan Rahadi
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal berbicara di hadapan audiens pada event Kasat-Kusut Pendidikan yang digelar di Ruang Seminar Perpustakaan UGM, Jumat (31/5/2024).
Foto: Birrul Waalidaini
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal berbicara di hadapan audiens pada event Kasat-Kusut Pendidikan yang digelar di Ruang Seminar Perpustakaan UGM, Jumat (31/5/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN — Kasat-Kusut Pendidikan membahas berbagai persoalan terkait sistem pendidikan di Indonesia. Digelar dengan mengusung ‘Susahnya Jadi Pintar di Indonesia’, kegiatan ini menyinggung karut marut pendidikan saat ini. 

Mulai dari Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mahal, sulitnya lulusan strata 1 (S1) mendapatkan pekerjaan, hingga rendahnya kualitas guru. Kegiatan tersebut digelar dengan menghadirkan narasumber yakni Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal di Ruang Seminar Perpustakaan Pusat UGM, Jumat (31/5/2024). 

Rizal mengatakan bahwa bahwa banyak persoalan yang belum terselesaikan bahkan muncul di sistem pendidikan perguruan tinggi saat ini. Tidak hanya terkait UKT, namun misconduct behavior akademisi kampus seperti plagiarisme profesor, rektor, bahkan dosen juga terjadi. 

Menurutnya, ada beberapa hal yang menyebabkan persoalan tersebut terjadi. Salah satunya terkait anggaran pendidikan yang pengelolaannya dibagi-bagi ke berbagai kementerian yang berkaitan dengan urusan pendidikan, bahkan ke berbagai daerah dan instansi. 

"Anggaran pendidikan kita itu sekitar Rp 630-650 triliun setahun. Tapi yang dikelola Kemendikbud hanya sekitar Rp 90 triliun. Rp 300 (triliun) dikelola oleh kabupaten daerah dan provinsi. Kabupaten daerah dan provinsi itu ada sekitar 500-an (di Indonesia),” kata Rizal. 

Intinya, anggaran yang dikelola Kemendikbud tersebut, sekitar 30-40 persen dipakai untuk menggaji dosen, guru, tunjangan sertifikasi dosen, hingga tunjangan sertifikasi guru. "Yang paling banyak guru, itu sekitar 35-40 (persen) karena memang PNS," ucapnya. 

Hal ini yang menyebabkan adanya guru yang berstatus honorer, dan tidak semua guru honorer diangkat menjadi P3K. Menurutnya, karena kurangnya anggaran untuk mengangkat honorer menjadi P3K. 

"Makanya kenapa ada yang honorer, ada yang P3K karena untuk mengangkat seluruh guru tidak cukup uangnya, uangnya enggak ada sebenarnya. Kalau dari alokasi Rp 90 triliun itu tadi, subsidi ke kampus-kampus, Anda perlu tahu jumlah kampus di Indonesia sekitar 4.500 kampus,” ungkap Rizal. 

Selain itu, menurut Rizal akar masalah lainnya yakni tidak seimbangnya proporsi jumlah penduduk dengan jumlah kampus. Ia membandingkan Cina dengan jumlah penduduk sebesar 1,4 miliar penduduk, hanya memiliki sekitar 2.000 kampus.

Sedangkan, Indonesia memiliki jumlah kampus yang lebih besar yakni sekitar 4.500-an kampus. Menurutnya, terjadi pemborosan dimana dengan banyaknya kampus tentu membutuhkan anggaran bahkan SDM yang lebih besar untuk mengelola kampus-kampus tersebut.

Sementara, tidak banyak inovasi yang lahir di Indonesia jika dibandingkan dengan Cina. "Inovasi lahir di Cina, mobil listrik, HP lahir di Cina. Yang buat matahari buatan Cina. Poin saya adalah, inovasi, gagasan baru, revolusi lahir di Cina hanya dengan 2.200-an kampus, sedangkan Indonesia dengan 4.500 kampus belum menciptakan teknologi apa pun. Bahkan, data BPS mengatakan hampir 10 juta gen Z usia 15-24 nganggur, tidak sekolah, dan tidak bekerja," ucap Rizal. 

photo
Seorang peserta event Kasat Kusut Pendidikan berdialog dengan pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal di Ruang Seminar Perpustakaan UGM, Jumat (31/5/2024). - (GSM)

Dalam acara tersebut, Rizal juga menyinggung terkait rendahnya kualitas guru di Indonesia. Tidak sedikit yang mengira bahwa kualitas guru berkaitan dengan kesejahteraan. 

Namun, menurut Rizal, kualitas guru tidak ditentukan oleh kesejahteraan guru itu sendiri. Hal ini seperti yang dikatakan World Bank di 2013 bahwa tunjangan sertifikasi guru yang naik dua kali lipat tidak berdampak pada kualitas guru.

"Apakah betul kesejahteraan meningkatkan kualitas, jawaban World Bank tidak, berarti (persoalannya) bukan kesejahteraan," katanya. 

“Saya tanya guru dari Bontang (Kalimantan Timur), gaji tunjangan PPT daerahnya Rp 10 juta, belum PNS dan tunjangannya. Kalau kepala sekolah dikasih Rp 25 juta, tapi apakah kualitasnya baik? Saya kemarin baru dari Bontang, enggak tuh, berarti apa, kesejahteraan tidak menjamin," ucap Rizal.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement