REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Sejumlah akademisi mendirikan Constitutional and Administrative Law Society (CALS), di Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada, Jumat (2/8/2024). CALS, sebagai bagian penting dari sistem kehidupan berbangsa, berperan strategis dalam mengawal penyelenggaraan negara dan pemerintah dalam kerangka negara hukum yang demokratis.
Acara ini diisi oleh beberapa pendiri CALS yang memberikan pandangan dan wawasan mereka mengenai peran dan tujuan organisasi ini. Sejumlah nama pendiri di antaranya adalah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, Susi Dwi Harijanti, Denny Indrayana, Beni Kurnia Ilahi, Yance Arizona, dan Richo Andi Wibowo.
Zainal Arifin Mochtar, salah satu akademisi dari Fakultas Hukum UGM, memulai acara dengan menjelaskan latar belakang pendirian CALS.
"Mengapa kami mendirikan CALS? Saya kira CALS sebenarnya adalah panggilan ketika kita merasakan bahwa ada banyak akademisi yang, dalam istilah belakangan, disebut dengan akademisi kelas kambing. Akademisi yang sering melacurkan ilmunya untuk kemudian berpihak pada kuasa dan kepentingan politik," ujarnya.
Zainal menekankan bahwa CALS didirikan sebagai benteng pertahanan terakhir dari integritas ilmiah dan etika akademisi. "Saya kira di tengah kondisi bangsa yang makin tergerus di banyak aspek baik sosial, etika, dan ilmiah, CALS adalah ajang kami untuk tetap bertahan. Ini adalah cara kami untuk melakukan pengorganisiran secara berjamaah dan kolektif. Kelas ini adalah ajang silaturahmi bagi siapa pun yang peduli pada hukum administrasi negara dan tata negara," katanya.
Charles Simabura, salah satu pendiri CALS, juga memberikan pandangannya mengenai kondisi negara saat ini. "Negara kita sekarang tidak baik-baik saja dan saya pikir kita semua merasakan itu. Saya mau mengutip kata Tan Malaka, 'minyak ketemu minyak, air ketemu dengan air.' Maksudnya adalah kita tidak mau bernegosiasi, tidak mau berpandai-pandai, tidak mau berspekulasi, dan tidak mau mengakali," kata Charles.
Charles menegaskan bahwa CALS hadir bukan hanya untuk mengkritik pemerintah tetapi juga untuk mengimbangi dan menjadi penyeimbang dari opini-opini yang ada.
"Saya juga kutip filosofi orang Minang, 'orang itu akan tersandung di batu kecil'. Begitu juga dengan kekuasaan—sebesar apa pun, dia suatu saat akan tersandung di batu kecil. Kami tidak meletakkan CALS sebagai organisasi besar, biarlah dia menjadi batu kecil tersebut yang akan menyandungkan kaki-kaki penguasa kedalam perut bumi pertiwi ini," katanya.
CALS berkomitme untuk memajukan, mengembangkan, dan menerapkan ilmu-ilmu hukum tata negara dan hukum adminitrasi negara atas dasar nilai-nilai yang menjunjung tinggi etika dan hukum untuk kemajuan peradapan. CALS menetapkan konstitusi yang dibentuk atas dasar prinsip-prinsip kolegialitas, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi yang berfungsi sebagai landasan hukum organisasi yang independen dan bersikap kritis terhadap cara penguasa menjalankan kekuasaan negara.
Konvensi ini menarik perhatian berbagai pihak, termasuk akademisi, politisi, dan aktivis masyarakat, yang menyatakan dukungan terhadap upaya CALS dalam memperkuat prinsip-prinsip konstitusional dan meminta pemerintah untuk lebih transparan dan akuntabel dalam setiap kebijakannya.
Acara ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk memperkuat komitmen semua pihak dalam menjaga demokrasi dan hukum konstitusi di Indonesia, terutama menjelang Pemilu 2024 yang akan datang.