REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Teater Suluh, bagian dari Social Movement Institute (SMI), kembali mengguncang panggung dengan pementasan bertajuk 'Kongres Para Setan' di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, Jumat (16/8/2024). Teater ini mengusung tema horor untuk menggambarkan situasi mencekam yang diakibatkan oleh aturan perundang-undangan yang sering kali menjerat rakyat kecil.
Dalam naskah yang ditulis oleh Eko Prasetyo, pementasan ini berfokus pada bagaimana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah menjadi alat untuk membatasi kebebasan berpendapat dan melindungi kepentingan pejabat.
Teater ini menggambarkan ironi melalui karakter setan, yang mewakili suara rakyat pinggiran; aparat, sebagai representasi negara represif; pejabat, yang selalu mencari kambing hitam; serta mahasiswa, sebagai korban dari UU ITE. Mereka berdiskusi dalam sebuah kongres tentang bagaimana UU ITE digunakan untuk menjerat siapa saja yang dianggap mengancam kekuasaan.
Eko Prasetyo, penulis naskah 'Kongres Para Setan', menyampaikan bahwa pementasan ini merupakan bentuk kritik terhadap merosotnya demokrasi di Indonesia. "Kami tidak ingin demokrasi dihancurkan oleh korupsi dan politik dinasti. Teater ini mengajak publik, terutama anak muda, untuk melawan segala bentuk penindasan terhadap demokrasi," ujar Eko.
Teater Suluh didirikan 10 tahun yang lalu dan sejak awal mengusung teater politik sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan kritik terhadap situasi politik yang terjadi di Indonesia. Berbeda dengan aksi demo dan diskusi yang biasa dilakukan oleh SMI, teater dianggap sebagai cara efektif untuk menjangkau generasi muda.
"Kami ingin menyentuh anak-anak muda dengan teater, karena teater adalah sarana paling baik untuk menyampaikan pesan yang terjadi di fenomena politik saat ini," kata Eko.
Namun, SMI menghadapi tantangan dalam menyelenggarakan tur "Kongres Para Setan" ke berbagai kota. Hingga saat ini, hanya di Yogyakarta mereka berhasil mendapatkan izin pementasan. "Kami sedang menguji apakah kampus-kampus memperbolehkan pementasan ini. Bulan September nanti, kami akan menghadapi ujian tersebut," ungkap Eko.
Meski dihadapkan pada berbagai kendala, Teater Suluh tetap konsisten dengan misi mereka. Didanai secara mandiri, teater ini melibatkan mahasiswa dari berbagai kampus yang sebagian besar adalah aktivis tanpa latar belakang teater. "Kami ingin mendorong agar publik berani melawan ketidakadilan dan menyelamatkan demokrasi yang sedang terancam," kata Eko.
Pementasan "Kongres Para Setan" ini juga dihadiri oleh seorang aktivis hak asasi manusia Indonesia yaitu Haris Azhar, yang mendukung upaya Teater Suluh dalam menyuarakan kritik sosial melalui seni. Kehadiran Haris Azhar semakin menegaskan bahwa teater ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga panggilan untuk bertindak dalam mempertahankan demokrasi yang tengah terancam.
Dengan mengangkat isu-isu kritis melalui medium teater, Teater Suluh berhasil memberikan inspirasi bagi penonton, terutama generasi muda, untuk terus berjuang melawan ketidakadilan dan mempertahankan nilai-nilai demokrasi di tengah situasi politik yang semakin kusut.