Kamis 15 Aug 2024 13:31 WIB

Ancaman Demokrasi di Indonesia, Otoritarianisme Digital Jadi Sorotan

Arif menyoroti semakin melemahnya institusi negara dalam menjalankan fungsinya.

Rep: Fiona Arinda Dewi/Wuni Khoiriyah Azka/ Red: Fernan Rahadi
Seminr Demokrasi Kepolisian Superbody: Ancaman Otoritarianisme Digital di Gedung Kuliah Terpadu UIN Sunan Kalijaga, Rabu (14/8/2024).
Foto: Wuni Khoriyah Azka
Seminr Demokrasi Kepolisian Superbody: Ancaman Otoritarianisme Digital di Gedung Kuliah Terpadu UIN Sunan Kalijaga, Rabu (14/8/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Seminar demokrasi yang diadakan di Gedung Kuliah Terpadu UIN Sunan Kalijaga, Rabu (14/8/2024) mengupas ancaman terhadap demokrasi di Indonesia lewat kepolisian superbody: otoritarianisme digital. Acara ini menghadirkan tiga narasumber utama yakni Guru Besar Komunikasi UII sekaligus pendiri Forum Cik Di Tiro,  Prof Masduki; Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI, Arif Maulana; serta pakar hukum tata negara dari UIN Sunan Kalijaga, Gugun El-Guyanie.

Dalam seminar ini, berbagai isu hangat dibahas, termasuk RUU Penyiaran yang dianggap mengancam kebebasan pers dan membatasi informasi publik serta keberagaman konten digital. Diskusi juga menyinggung draf RUU TNI yang mengusulkan peningkatan usia pensiun TNI hingga 40 tahun, serta UU Minerba yang memberi wewenang besar kepada pemerintah dalam pengelolaan tambang, menambah deretan panjang problematika hukum di Indonesia.

Puncak perhatian tertuju pada RUU Perubahan Ketiga UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Polri. Rancangan undang-undang ini dianggap memberikan kekuasaan besar kepada Polri, sehingga berpotensi menjadikan Polri sebagai lembaga superbody yang tidak terkendali dan dapat mengambil alih fungsi lembaga lainnya. Seminar ini bertujuan untuk membedah lebih dalam implikasi dari skenario ini jika tetap dilaksanakan.

Prof Masduki mengawali diskusi dengan memaparkan sejarah demokrasi Indonesia sejak tahun 1998, ketika gerakan mahasiswa menjadi motor penggerak perubahan. "Demokrasi telah menjadi bagian sehari-hari kita, namun kini kita menghadapi ancaman serius terhadap kebebasan berbicara dan berekspresi," kata Masduki.

Masduki kemudian menekankan bahwa periode 1998 hingga 2008 adalah masa kebebasan. Namun sejak 2009 dengan hadirnya UU Penyiaran dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), kebebasan tersebut mulai terancam.

Sementara itu, Arif menyoroti semakin melemahnya institusi negara dalam menjalankan fungsinya dengan baik. Ia mengangkat kasus-kasus seperti tragedi Kanjuruhan dan konflik agraria di Wadas sebagai bukti nyata dari kelemahan tersebut. "RUU Polri ini bermasalah karena minimnya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik," kata Arif.

Dengan pengesahan undang-undang yang terburu-buru tanpa konsultasi publik akan mengakibatkan kerugian besar bagi demokrasi.

Gugun menambahkan bahwa situasi saat ini sejalan dengan teori Richard Steich tentang cybersociety, di mana pemerintah justru memperkuat kekuatan otoriter melalui pengawasan digital. "Polisi tidak boleh memiliki kekuasaan yang berlebihan, karena ini berpotensi menjadi ancaman serius bagi kebebasan sipil dan demokrasi," kata Gugun.

Seminar ini tidak hanya diisi oleh diskusi serius, tetapi juga oleh panggung ekspresi yang menghibur seperti stand-up comedy, musik, dan teatrikal puisi yang turut meramaikan acara dengan pesan-pesan kritis yang dibawakan melalui seni.

Pada akhir seminar, dijelaskan bahwa demokrasi di Indonesia berada dalam tahap yang krusial dan harus dipertahankan agar tidak memasuki "musim dingin," di mana kebebasan sipil dan hak-hak dasar masyarakat terancam oleh kekuasaan otoriter. Mahasiswa dan masyarakat umum diharapkan untuk tetap waspada dan aktif dalam memperjuangkan demokrasi serta menolak upaya apapun yang dapat melemahkannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement