Kamis 29 Aug 2024 17:33 WIB

'Jogja Memanggil' di Titik Nol Yogyakarta Dihadiri Ratusan Warga

Para buruh dan aktivis HAM juga memberikan suara mereka.

Rep: Muhammad Agustian Reviyolanda/Alfiro Putra Ramadhani/ Red: Fernan Rahadi
Ratusan warga Yogyakarta berkumpul di titik nol, sudut Istana, untuk menghadiri acara Mimbar Demokrasi yang digelar dengan semangat keterbukaan dan kebebasan berbicara, Rabu (29/8/2024).
Foto: Muhammad Agustian Reviyolanda
Ratusan warga Yogyakarta berkumpul di titik nol, sudut Istana, untuk menghadiri acara Mimbar Demokrasi yang digelar dengan semangat keterbukaan dan kebebasan berbicara, Rabu (29/8/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ratusan warga Yogyakarta berkumpul di titik nol, sudut Istana, untuk menghadiri acara "Mimbar Demokrasi" yang digelar dengan semangat keterbukaan dan kebebasan berbicara, Rabu (29/8/2024). Acara yang dimulai pada pukul 17.00 WIB ini mempersembahkan ruang terbuka bagi siapa saja yang ingin menyampaikan pendapat, berorasi, bahkan saling berdebat.

"Mimbar Demokrasi" kali ini mengusung tema "Jogja Memanggil: Siapa Saja Boleh Bicara, Siapa Saja Boleh Orasi, Siapa Saja Boleh Saling Bantah, Siapa Saja Boleh Tidak Sependapat," mencerminkan semangat demokrasi dan pluralisme. Berbagai elemen masyarakat hadir dalam acara ini, termasuk mahasiswa, aktivis, akademisi, dan warga umum, yang menyuarakan pandangan mereka tentang isu-isu terkini, termasuk rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo dan maraknya politik dinasti.

Di dalam lingkaran yang dibuat oleh para demonstran terdapat berbagai slogan dan membawa spanduk bertuliskan "hancur lebur 26 tahun reformasi" dan "kerajaan masapahit".

Acara dibuka dengan orasi dari seorang aktivis muda yang menekankan pentingnya kebebasan berbicara dalam menjaga demokrasi di Indonesia. “Mimbar ini adalah milik kita semua, tempat di mana suara-suara yang berbeda bisa saling beradu tanpa takut dibungkam,” ujarnya

Salah satu sorotan utama dalam acara ini adalah orasi dari kelompok Mak Mak Indonesia (MMI), yang secara vokal menyampaikan keprihatinan mereka terhadap kebijakan pemerintah yang mereka anggap tidak berpihak kepada rakyat kecil.

"Kami di sini bukan hanya sebagai ibu-ibu yang diam di rumah, tetapi sebagai perempuran yang peduli dengan masa depan bangsa. Politik dinasti hanya akan membuat kita mundur ke belakang," kata salah satu anggota MMI, diiringi sorakan dukungan dari peserta lainnya.

Dari unsur masyarakat lainnya, para buruh dan aktivis HAM juga memberikan suara mereka dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyampaikan orasi yang keras mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap lebih menguntungkan elite dan mengabaikan kepentingan pekerja. “Kita butuh pemimpin yang memikirkan nasib rakyat, bukan yang hanya memperkaya keluarga sendiri,” serunya.

Orasi dari tokoh agama memberikan perspektif spiritual terhadap isu politik dinasti. Dalam orasinya mengingatkan para peserta bahwa kekuasaan seharusnya diemban dengan amanah dan bukan diwariskan secara turun-temurun seperti di era kerajaan.

“Dalam ajaran agama, pemimpin harus dipilih karena integritas dan kapabilitas, bukan karena hubungan darah,” katanya dengan suara lantang yang disambut tepuk tangan meriah dari hadirin.

Acara semakin semarak ketika elemen masyarakat menutup orasi mereka dengan menyanyikan lagu “garuda pancasila,” sebuah lagu perjuangan yang sering dinyanyikan dalam aksi-aksi protes di Indonesia. Lagu ini dinyanyikan bersama-sama oleh para peserta, menciptakan suasana yang penuh semangat dan solidaritas. Lagu ini menjadi simbol perjuangan rakyat dalam menuntut keadilan dan menentang segala bentuk penindasan.

Acara ini berlangsung hingga malam hari dengan partisipasi aktif dari berbagai kalangan. "Mimbar Demokrasi" ini diharapkan bisa menjadi wadah berkelanjutan bagi masyarakat Yogyakarta dan seluruh Indonesia untuk mengekspresikan kebebasan berpendapat dan terus memperjuangkan demokrasi yang sehat dan inklusif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement