Jumat 13 Sep 2024 14:45 WIB

'Transformasi ASEAN Bergerak dari Kebijakan State Oriented ke People Oriented'

Perubahan iklim, digitalisasi, dan keamanan siber turut menjadi sorotan.

Rep: Fiona Arinda Dewi/Wuni Khoiriyah Azka/ Red: Fernan Rahadi
Pusat Studi ASEAN Universitas Gadjah Mada (PSA UGM) mengadakan acara Kick-Off Review Kebijakan Kemitraan dengan tema Penguatan Piagam ASEAN: Tinjauan Mekanisme Regional dan Rekomendasi Kebijakan, di Auditorium Mandiri, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Rabu (11/9/2024).
Foto: Wuni Khoiriyah Azka
Pusat Studi ASEAN Universitas Gadjah Mada (PSA UGM) mengadakan acara Kick-Off Review Kebijakan Kemitraan dengan tema Penguatan Piagam ASEAN: Tinjauan Mekanisme Regional dan Rekomendasi Kebijakan, di Auditorium Mandiri, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Rabu (11/9/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pusat Studi ASEAN Universitas Gadjah Mada (PSA UGM) mengadakan acara "Kick-Off Review Kebijakan Kemitraan" dengan tema Penguatan Piagam ASEAN: Tinjauan Mekanisme Regional dan Rekomendasi Kebijakan, di Auditorium Mandiri, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Rabu (11/9/2024). Acara ini menghadirkan berbagai pakar untuk membahas tantangan dan solusi penguatan ASEAN di tengah dinamika global.

Dalam diskusi, dibahas transformasi ASEAN yang kini bergerak dari kebijakan state-oriented menuju people-oriented yang menekankan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Pergeseran ini diharapkan memperkuat pilar-pilar ASEAN, yaitu ekonomi, politik-keamanan, dan sosial-budaya.

Namun demikian, isu-isu seperti konflik Myanmar, rivalitas kekuatan global, serta pelanggaran hak asasi manusia masih menghambat stabilitas regional. ASEAN dinilai belum optimal dalam menegakkan mekanisme solutif dan penegakan aturan yang diikuti seluruh negara anggota.

Kepala Hubungan Internasional di CSIS, Lina Alexandra menyoroti pentingnya kemitraan regional bagi ASEAN di tengah tantangan global. “ASEAN sudah memiliki kerangka kerja dengan para mitra dialog, seperti ASEAN Plus Three dan ASEAN Summit. Tantangan ke depan adalah memperdalam hubungan ini agar ASEAN dapat berkolaborasi secara efektif dalam menghadapi tantangan global yang melibatkan banyak negara,” ungkap Lina.

Tantangan baru seperti perubahan iklim, digitalisasi, dan keamanan siber turut menjadi sorotan. Menurut Lina, ASEAN perlu memperkuat mekanismenya dalam bidang-bidang ini.

“ASEAN telah memulai langkah di sektor lingkungan, namun belum sepenuhnya terfokus pada keamanan siber. Kerja sama di bidang-bidang ini harus diperkuat melalui perjanjian konkret yang bisa segera diimplementasikan," kata Lina menambahkan.

Kepala Pusat Strategi Kebijakan ASPASAF, Vahd Nabyl A. Mulachela menjelaskan bahwa ASEAN harus memperbaiki mekanisme kerja samanya dengan negara mitra.

“Setiap mekanisme ASEAN memiliki karakteristik sendiri, dan untuk meningkatkan efektivitasnya, perlu adanya sinergi dengan negara mitra yang memiliki kepentingan bersama, seperti Amerika Serikat dan PBB,” ujar Vahd.

Direktur Kerja Sama Politik dan Keamanan ASEAN di Kementerian Luar Negeri RI, Chilman Arisman menegaskan pentingnya komitmen negara-negara anggota dalam mengimplementasikan keputusan ASEAN.

“Banyak keputusan yang dihasilkan ASEAN belum diimplementasikan dengan baik. Diperlukan dorongan agar setiap negara anggota lebih berkomitmen dalam melaksanakan kesepakatan tersebut,” kata Chilman.

Direktur Eksekutif Pusat Studi ASEAN UGM, Dafri Agussalim menyoroti krisis kepemimpinan di ASEAN. Menurutnya, ASEAN membutuhkan pemimpin yang kuat dan visioner untuk mengatasi masalah ini.

“ASEAN selama ini mengandalkan manajemen informal dalam menyelesaikan masalah. Namun, kepemimpinan yang kuat dan mekanisme yang baik adalah kunci agar ASEAN dapat mengatasi tantangan ke depan," kata Dafri.

Acara ini menjadi momentum penting bagi ASEAN untuk melakukan refleksi dan memperkuat komitmennya dalam menghadapi tantangan regional dan global.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement