Jumat 27 Sep 2024 15:26 WIB

Kongres Pancasila di UGM Soroti Kemerosotan Moral Pejabat dan Minimnya Pendidikan Karakter

Meritokrasi adalah suatu hal yang mungkin untuk diterapkan di Indonesia.

Rep: Fiona Arinda Dewi/Wuni Khoiriyah Azka/ Red: Fernan Rahadi
Diskusi Panel yang bertajuk Refleksi Moral Aktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dalam rangkaian Kongres Pancasila XII yang berlangsung di kampus UGM, Kamis (26/9/2024).
Foto: Wuni Khoiriyah Azka
Diskusi Panel yang bertajuk Refleksi Moral Aktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dalam rangkaian Kongres Pancasila XII yang berlangsung di kampus UGM, Kamis (26/9/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Mantan Menko Polhukam RI, Prof Mahfud MD mengatakan saat ini ada kecenderungan terjadinya kemerosotan moral di kalangan pejabat baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal itu diindikasikan dengan banyaknya pejabat yang tidak merasakan malu ketika mereka ketahuan melanggar hukum.

"Ternyata banyak orang munafik di pemerintahan kita, dia melakukan sesuatu yang salah tapi merasa tidak bersalah, dia melakukan sesuatu yang jelas-jelas melanggar moral dan kepantasan dalam masyarakat, tapi merasa tidak apa-apa karena katanya belum diputus oleh pengadilan bahwa dia bersalah,” Jelas Mahfud dalam Diskusi Panel yang bertajuk “Refleksi Moral Aktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”  dalam rangkaian Kongres Pancasila XII yang berlangsung di kampus UGM, Kamis (26/9/2024).

Cendekiawan dari PP Muhammadiyah Dr Sukidi menekankan untuk memperbaiki kemerosotan moral dibutuhkan pendidikan karakter akan kebutuhan negara ini akan sebuah sistem pendidikan karakter yang kuat. Menurutnya, salah satu cara yang bisa dilakukan untuk memperbaiki negeri dengan spirit pancasila adalah dengan pendidikan karakter. “Ikhtiar untuk memperbaiki negeri ini dengan spirit pancasila adalah dengan pendidikan karakter karena karakter itulah yang menjadi penentu tentang kualitas kita sebagai manusia," katanya.

Dalam sesi diskusi, beberapa peserta menanyakan soal pendanaan pendidikan yang dianggap kurang diprioritaskan oleh negara dan peluang penerapan meritokrasi. Sukidi mengatakan satu solusi soal pendanaan pendidikan adalah mengajak semua pihak yang terlibat untuk duduk bersama untuk memberikan pendidikan yang berkualitas terutama ke masyarakat miskin.

Sedangkan soal peluang penerapan meritokrasi, Sukidi menjawab bahwa Meritokrasi adalah suatu hal yang mungkin untuk diterapkan di Indonesia bahkan di tengah paham feodalisme dan senioritas yang menjamur di tengah masyarakat kita.

“Mungkinkah meritokrasi di tengah budaya kita yang menganut paham feodalisme, paham senioritas, paham hierarki?  Mungkin Anda perhatikan darimana orang tua Lee Kuan Yew? orang yang lahir di semarang. Lee Kuan Yew menjadi arsitek penting tentang betapa meritokrasi menjadi kunci kemajuan negara Singapura itu sendiri,” ungkapnya.

Sementara itu, dalam panel yang lain Dosen Politik Fisip Universitas Airlangga (UNAIR), Airlangga Pribadi Kusman menekankan bahwa Pancasila, khususnya sila ke-4, seharusnya menjadi ruang bagi debat publik yang bijaksana tanpa kekuatan yang sewenang-wenang. Ia mengkritik berbagai intimidasi terhadap warga serta penyaluran bantuan sosial yang kerap dilakukan menjelang pemilihan presiden.

"Beberapa bulan lalu terkait keputusan MK, menurut saya, itu adalah bentuk pengingkaran terhadap nilai fundamental sila ke-4," ujar Airlangga.

Menurutnya, Pancasila harus ditempatkan sebagai landasan kritik yang didasari pada pencarian historis dan dialektis tentang makna hidup dalam sebuah republik. Ia juga menyoroti bahwa pondasi republik dibangun di atas prinsip solidaritas, yang kini tengah mengalami krisis akibat kurangnya makna dalam proses pembentukan republik di era sekarang.

Sementara itu, Dosen Filsafat UGM, Agus Wahyudi dalam penjelasannya berfokus pada pemahaman konsep republik dan bagaimana hal ini terkait dengan Pancasila. Dari perspektif filsafat, ia menjelaskan bahwa republikanisme bertujuan untuk mencegah kesewenang-wenangan kekuasaan dan menjaga keadilan.

"Republikanisme itu adalah upaya filosofis untuk menegakkan kontrol terhadap kekuasaan, agar tidak disalahgunakan," jelas Agus.

Pengamat politik, Rocky Gerung, menambahkan bahwa Pancasila adalah ideologi yang harus dipahami sebagai pemikiran terbuka, bukan sesuatu yang dogmatis. Menurutnya, setelah era reformasi, misi utama Pancasila adalah membangkitkan kesadaran politik rakyat.

"Pancasila harus dievaluasi secara etika untuk menilai kondisi politik saat ini," kata Rocky. Ia mengkritik keras situasi politik yang dinilai sering kali hanya menghabiskan anggaran negara tanpa perbaikan berarti. Ia juga menyinggung tentang jebakan materialisme yang menurutnya merusak mentalitas bangsa.

Diskusi ini menyoroti pentingnya menjaga relevansi Pancasila dalam mengarahkan politik dan kehidupan bernegara, sekaligus memperkuat gagasan republikanisme sebagai benteng melawan kekuasaan yang tidak terkendali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement