Senin 16 Dec 2024 15:08 WIB

Sambut Era Dominasi AI, Founder GSM: Guru Harus Jadi Garda Terdepan

AI adalah arsitektur kecerdasan, sementara manusia adalah arsitektur kebijaksanaan.

Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal
Foto: GSM
Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Saat ini, manusia disebut tengah berada dalam periode ambang misteri peradaban. Pada saat manusia berperilaku seperti robot, robot justru berpikir dan bersikap seperti manusia atau yang disebut sebagai artificial intelligence (AI).

Pada era ini, AI semakin pintar dengan terus berefleksi dan mengevaluasi kemampuan. Sedangkan manusia bergerak secara monoton dan mayoritas menghabiskan waktu di depan gawai dengan minimnya interaksi sosial yang berarti.

Pada titik ini, menurut pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, guru menjadi garda terdepan untuk membuat generasi ke depannya mampu lolos dari ambang misteri peradaban umat manusia.

"Caranya adalah dengan mengenalkan, menumbuhkan kesadaran, dan mempertajam aset utama anak didiknya sebagai makhluk yang merupakan arsitektur kebijaksanaan," kata Rizal saat mengisi program Ng(k)aji Pendidikan, dengan tema “Guru di Ambang Misteri Peradaban” pada Jumat (13/12/2024).

 

Rizal mengatakan, guru adalah garda terdepan di rumah, sekolah, dan di mana pun. Ia menjelaskan, selama setiap dari kita dapat bermartabat sebagai seorang guru maka peradaban manusia akan aman dan dapat dijaga.

"Sebagaimana yang dikatakan oleh Bung Karno, bahwa guru adalah sang Rasul Peradaban," kata Rizal.

Hanya saja, menurut Rizal, kekeliruan masih kerap terjadi di mana sistem pendidikan dan guru menitikberatkan nilai akademik dan tuntasnya materi ajar sebagai tolok ukur sukses atau tidaknya pendidikan. Padahal, guru perlu berfokus pada proses belajar manusia yang paling alamiah, yakni memantik rasa ingin tahu, memicu kreativitas, dan keberagaman potensi, serta menyadarkan siswa sebagai manusia dengan nilai-nilai kebermanfaatan hidup, serta tanggung jawab moral dan etis. Itulah definisi memanusiakan siswa.

“Ketika sekolah dan guru tidak dapat memanusiakan siswa, bahayanya adalah mereka dapat mencari pelarian kepada hal yang semu, seperti AI. Sudah ada buktinya bahwa Meta AI atau ChatGPT 4.0 dapat menggunakan data training untuk berbohong, terlihat empati, dan memberikan kenyamanan terhadap manusia yang sejatinya mampu mereka dapatkan di sekolah,” kata Rizal.

Ia menegaskan, manusia sebagai makhluk berperasaan malah tidak dapat memberikannya karena tidak dilatih. "Kebanyakan dari kita terlalu sibuk dengan administrasi, karier dan jabatan, serta persepsi orang yang membuat kita jarang berefleksi dengan diri sendiri," katanya.

Rizal menjelaskan pengertian AI kepada para partisipan dengan mengkontekstualisasikannya apabila diperintah untuk menendang bola.

“AI adalah kecerdasan karena ia diberi tujuan, misalnya menendang bola sampai ke gawang. AI akan belajar sendiri caranya menendang ke gawang lewat memahami pola untuk bermain bola, kemudian ia memecahkan masalah tersebut dengan mencari-cari dan membuat jaringan syaraf tiruan sinapsis yang diatur oleh manusia dalam algoritma pembelajaran yang ditujukan untuk menendang bola ke gawang,” jelas Rizal.

Rizal mengkhawatirkan pertumbuhan AI yang pesat dapat memperparah kondisi pendidikan di Indonesia yang stagnan. Perkembangan atas sinapsis yang sudah dibangun AI, yaitu 175 miliar pada ChatGPT 3.5 dan 1 sampai 1,7 triliun pada ChatGPT 4.

Dengan kecepatan dan aksesnya terhadap informasi, AI tentu mampu menjadi asisten yang menggenjot produktivitas manusia. Terbukti dari AI yang setiap bulannya mampu mencerna hingga triliunan data, sedangkan manusia hanya terbatas pada 1 miliar data jika belajar sepanjang hidup. Namun, batasan pada AI bagi kehidupan manusia hanya sampai pada menjadi asisten. Tidak untuk menggantikan karena untungnya, manusia masih memiliki anugerah kekhasan yang istimewa.

Menurut Rizal, kta perlu mengevaluasi cara pengajaran di kelas. Kalau hanya tentang nilai dan benar atau salah maka anak-anak mungkin akan lebih baik belajar dengan AI sebab mereka lebih pintar dan memiliki segudang informasi yang terkumpul dari akar-akar komputasi. Kita harus mampu mengangkat kelebihan dari manusia ketimbang AI, yaitu kebijaksanaan.

“AI adalah arsitektur kecerdasan, sementara manusia adalah arsitektur kebijaksanaan. Kebijaksanaan berarti menggunakan pengetahuan dengan mempertimbangkan nilai, moral, etika, dan dampak jangka panjang dengan cara, serta tujuan yang benar,” tambah Rizal.

Setelah melihat dampak dari pergantian menteri dan kurikulum yang tidak begitu signifikan terhadap pendidikan di Indonesia, GSM memilih berfokus terhadap peningkatan kualitas guru yang dirasa lebih dapat berdampak karena paling tahu situasi dan kondisi lapangan. Rizal juga beranggapan bahwa guru adalah kurikulum itu sendiri.

Transformative changemaking yang paling efektif dilakukan oleh paradigma dan budaya, bukan hanya perubahan kebijakan. Lewat narasi yang membuat orang-orang dengan kepentingan yang berbeda mampu menyatu untuk aspirasi yang sama,” kata Rizal.

Rizal juga menuntun para partisipan untuk membangun murid-murid yang mampu memiliki pemikiran holistik. Tidak hanya sekadar tahu “apa”, tetapi juga “bagaimana”, dan “mengapa”, lewat pemaduan cara berpikir lintas disiplin dan menggunakan pola pikir filsafat sebagai dasar.

Cara berpikir filsafat dirasa perlu untuk diterapkan agar siswa terus memiliki rasa penasaran yang tinggi, terhindar dari manipulasi berita hoaks yang kerap tersebar di dunia maya, serta selalu bijaksana dalam mengambil keputusan.

“Kalau misalnya belajar sejarah, janganlah lagi menanyakan kapan Ibu Kartini lahir. Jangan hafalan terus. Belajar sejarah fungsinya adalah memahami masa lalu untuk melakukan analisis kritis terhadap dokumen sejarah. Mengenali pola sosial, budaya, dan politik," kata Rizal.

Di dalam acara Ng(k)aji pendidikan juga banyak didapatkan komentar menarik hasil berefleksi setelah mendengarkan pemaparan dari Rizal.

“Mengikuti GSM membuat saya mengalami keterlepasan akan masa lalu. Saya ucapkan selamat datang di gerbang pendidikan untuk mereka yang mengikuti acara Ng(k)aji pendidikan. Pasti ada energi yang dirasakan, seperti sebuah kutipan yang saya suka, yaitu perubahan tidak dibangun oleh mayoritas, tetapi oleh minoritas. Saya percaya minoritas yang dimaksud adalah GSM,” ucap Pak Reynold seorang pegiat dari GSM Supiori.

“GSM memiliki ekosistem yang mandiri, berdaulat, dan independen. Tidak pernah bergantung kepada siapapun yang berkuasa karena semangatnya datang dari inisiatif diri. Pertemuan malam ini juga membuat kami tidak takut lagi dengan adanya AI karena dapat disiasati dengan pembangunan arsitektur kebijaksanaan,” kata Pak Widi yang juga merupakan seorang pegiat GSM.

“Mendidik secara meraki dengan cinta dan hati agar anak-anak mampu bertumbuh sambil memahami, mengerti, dan memaknai, tidak hanya menjadi robot yang mengikuti algoritma sosial media," ujarnya.

Sebagai penutup, Rizal memberikan pesan agar para guru mampu mengajarkan anak untuk tetap mempertahankan rasa penasaran dalam mencari kebenaran sejati karena secanggih apapun bantuan dari AI, masihlah berpotensi untuk bias.

“Anak-anak mesti didorong untuk dapat mempelajari cara kerja dari AI agar dapat mengendalikannya, sehingga penggunaan AI oleh manusia bukan untuk membuat AI menjadi superhuman, tetapi supaya kita yang menjadi superhuman," kata Rizal.

Demi keberlanjutan pembahasan isu, GSM tidak membatasi kegiatan Ng(k)aji Pendidikan berhenti di webinar saja, tetapi berlanjut kepada kegiatan Ngobras (Ngobrol Bersama Komunitas), yaitu kegiatan GSM di beberapa daerah yang membahas mengenai hasil pembicaraan di Ng(k)aji Pendidikan, tetapi difasilitasi oleh pegiat GSM masing-masing sebagai bentuk penguatan refleksi dan pemahaman akan materi agar dapat diterapkan di dalam kelas dan berdampak langsung pada murid.

Antusiasme para guru pada Ng(k)aji Pendidikan tersebut terbilang luar biasa. Terhitung ada lebih dari 750 partisipan yang ikut serta dan setia mendengarkan materi yang berfokus pada penguatan guru sebagai pemandu para siswa untuk tetap berada di koridor yang tepat dan tidak terjerumus kepada efek negatif dari perkembangan teknologi, terkhusus AI.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement