REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Isu suksesi di Keraton Yogyakarta kembali mencuat setelah Sri Sultan Hamengku Buwono X menyinggung soal keterlibatan perempuan dalam proses regenerasi kepemimpinan di lingkungan keraton. Dalam forum dialog kebangsaan yang digelar beberapa waktu lalu, Sultan HB X secara terbuka menyatakan tidak ada larangan bagi perempuan untuk memimpin Keraton Yogyakarta.
Menurut Sultan, perubahan zaman dan prinsip kesetaraan yang dianut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus menjadi dasar berpikir baru bagi Keraton Yogyakarta. "Saya di MK untuk bicara wanita menjadi bagian dari bisa dimungkinkan untuk regenerasi di Keraton Jogja kok enggak boleh itu gimana? Wong aturan itu di Keraton enggak ada. Tapi, saya tunduk pada Republik," kata Sultan.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.Sultan HB X mengatakan tidak ada satu pun aturan tertulis di dalam paugeran (tata aturan adat Keraton) yang secara eksplisit melarang perempuan menduduki posisi tertinggi di Keraton Yogyakarta. Karena itu, pandangan hanya laki-laki yang bisa menjadi Sultan, menurutnya, sudah tidak relevan dengan semangat zaman modern.
"Zaman sudah berubah, itu (tradisi patriarkis -red) kan leluhur saya. Lho, saya kan menjadi bagian dari republik, ya harus tunduk pada undang-undang republik. Malah memenuhi undang-undang, malah dianggap salah, kan gitu? Kan aneh bagi saya," ucapnya.
Pernyataan Sultan HB X ini kembali mengingatkan publik pada sidang pengujian Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2016. Kala itu, Sultan menyampaikan perempuan memungkinkan untuk menjadi bagian dari regenerasi di Keraton Yogyakarta.
Sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus Raja Keraton, posisi Sri Sultan memiliki arti strategis. Pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY secara otomatis berasal dari Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman.
Karena itu, pandangan Sultan tentang kesetaraan gender di dalam sistem pewarisan tahta berimplikasi langsung terhadap arah politik dan tata pemerintahan keistimewaan DIY di masa depan. "Republik tidak membedakan laki-laki sama perempuan, kenapa saya membedakan? Kan saya tidak konsisten," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Sultan juga menanggapi persepsi masyarakat luar yang sering menganggap Yogyakarta masih kental dengan budaya feodal. Apalagi daerahnya menunjukkan tingkat demokrasi yang tinggi dibandingkan banyak wilayah lain di Indonesia.
Ia menambahkan, capaian Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) DIY yang konsisten tinggi menunjukkan nilai-nilai tradisi tidak serta-merta bertentangan dengan prinsip demokrasi. Sultan menilai, keberhasilan itu dicapai karena pemerintahannya selalu membuka ruang bagi partisipasi masyarakat.
"Banyak orang yang tanya, mestinya Jogja itu feodal, kan kerajaan, kenapa tingkat demokrasinya tinggi, ya saya anggap tidak mengerti aja, bahwa DIY bagian dari republik," ujarnya.
 
                     
                     
      
      