REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir mengatakan masalah etika dan moral masih melekat dengan kelemahan karakter masyarakat Indonesia. Sejumlah kejadian atau kasus sebagai fakta sosial yang menunjukkan adanya krisis atau peluruhan moral dan etika luhur bangsa akhir-akhir ini.
Kasus paling menonjol diantaranya diberhentikannya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mewakili erosi moral dan etika para pejabat negara atau pejabat publik. Kasus paling baru mundurnya unsur pejabat pemerintahan sekaligus tokoh agama karena menyentuh persoalan kepatutan etika dalam berinteraksi sosial dengan sesama.
“Pelanggaran moral dan etika oleh pejabat publik jangan dianggap ringan dan biasa karena menyangkut elite negeri yang semestinya menjadi teladan rakyat,” kata Haedar Nashir dalam Orasi Penerimaan Anugerah Hamengku Buwono IX dari Universitas Gadjah Mada tahun 20024 yang berlangsung Kagungan Dalem Bangsal Srimanganti Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kamis (19/12) malam.
Dalam orasinya yang berjudul Transformasi ‘Mentalitas dan Kebudayaan Indonesia’, Haedar menuturkan masalah moral dan etika dalam mentalitas bangsa sebenarnya masalah kebudayaan, yakni menyangkut sistem pengetahuan kolektif manusia dalam kehidupan bersama. Masyarakat Indonesia menampilkan gaya hidup baru yang menunjukkan anomie atau anomali, yakni penyimpangan perilaku dalam masyarakat. Ketika korupsi, orientasi materi (materialisme), transaksi politik uang, memuja kesenangan duniawi (hedonisme), dan cara hidup menghalalkan apa saja (oportunisme) mulai meluas dalam kehidupan masyarakat maka yang terjadi ialah ketercerabutan.
“Kita masih dapat mendaftar persoalan bangsa yang bersifat struktural seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, politik uang, politik transaksional, dan persoalan-persoalan politik yang juga menyentuh ranah moral dan etika. Di ranah kehidupan sehari-hari sama gawatnya seperti judi online, kejahatan ITE, narkoba, kekerasan seksual, pembunuhan di internal keluarga dan lingkaran orang-orang terdekat, rendahnya digility (tingkat kesopanan) netizen Indonesia di dunia media sosial, serta persoalan-persoalan sosiopatik lainnya," ujarnya.
Bagi Haedar, dimensi moral dan etika dalam kehidupan suatu masyarakat atau bangsa tidak dapat dipandang enteng karena keduanya menyangkut urusan nilai baik dan buruk yang sejatinya merupakan representasi dari martabat ruhani dan akal-budi manusia. Persoalan moral dan etika tersebut tidak dapat dimarjinalisasikan sebagai urusan domestik dan privat, sebab dalam kehidupan bangsa yang dikenal maju dan sekuler-modern pun keduanya masih dijunjung tinggi. “Betapa sejumlah kasus menunjukkan, seorang pejabat tinggi hingga Perdana Menteri mundur karena tersangkut persoalan etika jabatan dan etika publik. Apalagi dalam kehidupan bangsa Indonesia yang memiliki pijakan utama nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa," katanya.
Dalam menghadapi kelemahan mentalitas bangsa penting dilakukan pendekatan transformasi kebudayaan. Transformasi merupakan strategi perubahan jalan tengah menuju Indonesia yang lebih maju dan berkarakter keindonesiaan yang kuat secara individual maupun kolektif dalam sistem kebudayaan baru. Dalam konteks ini sejatinya bangsa Indonesia secara relatif memiliki nilai-nilai keutamaan yang mengkristal menjadi modal sosial dan budaya penting.
Di antara nilai-nilai itu adalah daya juang, tahan menderita, mengutamakan harmoni, dan gotong royong. Nilai-nilai keutamaan tersebut masih relevan, namun memerlukan penyesuaian dan pengembangan sejalan dengan dinamika dan tantangan zaman. “Cukup mendesak untuk dilakukan transformasi karakter bangsa, yaitu dengan memelihara dan meningkatkan nilai-nilai keutamaan yang sudah terbangun sejak dahulu dan mengembangkan nilai-nilai keutamaan baru, termasuk membuka diri terhadap nilai-nilai keutamaan bangsa-bangsa lain yang lebih maju,” paparnya.
Menurut Haedar, transformasi manusia Indonesia yang cerdas dan berkarakter kuat dalam konteks kekinian dicirikan oleh religiusitas yang kokoh, kapasitas intelektual dan penguasaan iptek yang lengkap disertai mentalitas unggul seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kemandirian, serta kuat dalam memegang prinsip dan sifat-sifat khusus lainnya. Indonesia emas tahun 2045 akan terwujud jika generasi mudanya saat ini religius, cerdas, berkepribadian Indonesia yang unggul seperti itu. “Bukan generasi lemah, pembebek, serba instans, menjadi benalu, penjual populisme murah, serta tidak memiliki khazanah keilmuan, kepribadian, dan perilaku serba utama,” ungkapnya.
Seperti diketahui, Haedar Nashir adalah sosok yang telah mengarungi perjalanan panjang bersama Muhammadiyah sejak tahun 1983. Bagi Sri Sultan Hamengku Buwono X, Haedar telah menjelma sebagai sosok pemimpin yang tak sekadar hadir di panggung sejarah, tetapi memahat selaksa makna di dalamnya. Menurut Sultan, kepemimpinan Haedar di Muhammadiyah berhasil mengemban kepemimpinan yang berpijak pada kesederhanaan, keluasan ilmu, dan visi kemajuan umat bahkan membawa cita-cita Muhammadiyah Unggul-Berkemajuan atau Centre of Excellence. “Role model “Centre of Excellence” bukanlah sebatas gagasan kosong, melainkan sebuah laku hidup Muhammadiyah di pentas nasional dan global,” katanya.
Berbagai gagasan Haedar Nashir dinilai Sri Sultan sebagai visi yang melampaui sekadar pembangunan institusi. Bahkan telah melahirkan tonggak-tonggak peradaban. Sekelumit contoh seperti Markaz Dakwah Muhammadiyah di Kairo, Universiti Muhammadiyah Malaysia (UMAM), dan Muhammadiyah Australia College (MAC) di Melbourne. “Pada hakikatnya, karya ini bukan semata soal pembangunan fisik atau perluasan jaringan, melainkan usaha mulia, untuk membangun peradaban yang kokoh berlandaskan, nilai-nilai Islam yang “wasathiyah” – moderat, inklusif, dan berkemajuan”, ungkapnya.
Diakui Sri Sultan, Haedar Nashir dalam kepemimpinannya, mencerminkan sejatinya filosofi Muhammadiyah yaitu berkemajuan, membangun umat, dan menebar manfaat bagi semesta. “Dalam pemikirannya, ilmu bukan sekadar simbol pengetahuan, melainkan menjadi setitik cahaya pelita, yang sudah seharusnya menuntun umat di tengah tantangan zaman dengan berbagai dinamika dan fluktuasinya,” terangnya.
Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof Ova Emilia, mengatakan Prof Haedar Nashir merupakan tokoh yang konsisten dan berkomitmen menjalankan setiap tugas pengabdiannya dalam bidang pendidikan, sosial, politik dan kemanusiaan. “Selamat kepada Prof Haedar Nashir semoga terus berkarya dalam tugas pengabdian di masa depan, terus bertumbuh dan bermanfaat bagi kehidupan sosial masyarakat,” terangnya.
Haedar Nashir mengaku bersyukur dan menyatakan rasa hormat atas pemberian penghargaan ini. Penghargaan ini merupakan suatu kebanggan karena didalamnya ada sosok yang menjadi rujukan dan role model bangsa yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX. “Terima kasih saya sampaikan kepada Kraton Yogyakarta yang telah menyetujui pemberian penghargaan ini, Rektor UGM dan tentunya kepada Muhammadiyah yang telah memberikan kesempatan ini. Saya merasa terhormat menerima Anugerah Hamengkubuwono IX dari UGM tercinta,” ujarnya.
Sebagai alumni yang telah enam tahun belajar S2 dan S3 studi Sosiologi, ia mengungkapkan UGM telah memberikan bekal nilai-nilai penting yang ia pegang teguh hingga kini. Kampus UGM, menurutnya, bukan sekadar institusi pendidikan, tetapi juga pusat pemikiran yang memberikan alat dan metodologi untuk menginternalisasi berbagai nilai kehidupan.
Ia menjelaskan lima nilai utama yang ia pelajari selama berkuliah di UGM. Pertama, nilai kebenaran yang berbasis ilmu pengetahuan. Menurutnya kebenaran tidak hanya terkait dengan logika akademik, tetapi juga terkoneksi dengan Pancasila, agama, dan budaya luhur bangsa. “Kebenaran adalah nilai utama ilmuwan," katanya.
Kedua, nilai tradisi keilmuan. UGM, disebutnya, bukan sekadar kampus akademik, tetapi juga “school of thought” yang memupuk pemikiran kritis. “Di sini saya mendapatkan alat dan metodologi yang sangat interkoneksi," katanya.
Nilai ketiga adalah persatuan dalam keragaman. UGM, sebagai miniatur Indonesia, menjadi tempat bagi mahasiswa dari berbagai latar belakang untuk belajar hidup bersama dalam harmoni.
Keempat, nilai kecintaan terhadap rakyat. Ia menjelaskan bahwa UGM adalah kampus rakyat yang tidak hanya mencetak ilmuwan, tetapi juga individu yang peduli pada rakyat. Haedar mencontohkan praktik Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai salah satu bentuk pengabdian nyata. “Mencintai rakyat tidak cukup simbolis, seperti datang ke rumah orang miskin dan memberikan bantuan. Yang lebih penting adalah kebijakan yang berpihak dan memberdayakan rakyat,” jelasnya.
Nilai kelima adalah orientasi global. Terkait ini, Haedar mendorong agar UGM dan kampus-kampus Muhammadiyah lebih aktif merespons isu-isu internasional, seperti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan perubahan iklim. Ia juga mengapresiasi program UGM seperti Wanagama di IKN yang bertujuan menyelamatkan masa depan lingkungan.
Haedar menandaskan pentingnya sinergi antara pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kepedulian sosial untuk membangun bangsa yang lebih baik. Ia pun mengajak untuk bersama-sama bergerak dengan semangat global dengan tetap berpijak pada akar budaya dan kemanusiaan.