REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar acara Coffee Morning Lecture (CML) Episode 7 dengan mengangkat tema “Transformasi Hunian: Pendekatan Holistik untuk Permukiman yang Berdaya dan Inklusif”. Melalui CML ini,mereka berharap dapat merumuskan rekomendasi strategis yang memperkuat pemberdayaan komunitas serta meningkatkan kualitas permukiman yang inklusif. Acara tersebut dilaksanakan di Ruang Sidang Gedung Moh. Natsir FTSP, Sleman, Yogyakarta, Jumat (20/12/2024).
Acara kali ini mengundang Achmad Choirudin dari komunitas Samadya, pelaku Cohousing di DIY. Ia menyebutkan alasannya beralih ke Cohousing karena harga tanah yang kian melonjak.
“Sekarang harga tanah bisa melonjak sewaktu-waktu, itu membuat saya dan istri memutuskan untuk membeli tanah bersama teman-teman," ujar Achmad dalam pemaparannya.
Komunitas Samadya milik Achmad dan teman-temannya dirintis sejak 2017 silam. Tanah mereka berlokasi di Sleman Utara dengan luas sekitar 3.500 meter persegi. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai mahasiswa, pekerja kampus, peneliti, pekerja yayasan, pekerja perusahaan, studio arsitek, studio riset dan pendidikan, konsultan lepas.
Selain Achmad, acara tersebut diisi oleh Prof Suparwoko selaku dosen Arsitektur FTSP UII. Ia juga memaparkan alternatif lain sebagai transformasi hunian yang tanggap terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dalam programnya, ia menunjukkan inovasi berupa rumah RS T24 PRO-G.
Rumah ini bertujuan untuk menyediakan rumah sederhana T-24 berbahan dasar pipa paralon dan papan GRC. Struktur bangunan ini disusun sebagai bangunan yang ramah gempa dan ramah lingkungan.
“Karena Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di Jogja memiliki kebutuhan yang cukup tinggi. Maka, inovasi rumah T24 ini hadir,” jelas Suparwoko terkait alasannya membangun rumah RS T24 PRO-G.
Bukan hanya itu, inisiasi hunian darinya sudah membuahkan hasil. Bangunan yang telah berhasil dibangun salah satunya adalah pembangunan rumah di Bantul dan toilet bersama di Sleman. Keduanya didirikan pada tahun 2023.
Meski begitu, inovasi keduanya mendapatkan sanggahan karena justru akan menimbulkan banyak polemik ke depannya.
“Sebenarnya saya penasaran, bagaimana hubungan sewa housing akan berjalan kalau ke depannya akan ada pertukaran kepemilikan di antara anggotanya? Ditambah lagi, soal konflik antar anggota terkait hak tanah dan lain-lain,” tanya Prof Mochamad Teguh, selaku dosen Teknik Sipil FTSP UII.
Kemudian, keraguan milik dosen Teknik Sipil itu dijawab oleh Achmad dengan solusi berupa komunikasi antar anggota serta membentuk visi yang baik untuk menciptakan ruang bersama secara partisipatif.
Selain dari Achmad, pertanyaan tadi dijawab oleh istrinya yang juga turut hadir. Ia menyebutkan bahwa alasannya untuk menetap di Cohousing karena mendapatkan pengalaman yang menyenangkan.
“Saya dulu juga ragu ketika diajak suami saya untuk tinggal bersama. Tetapi setelah saya mencoba ternyata banyak pengalaman yang sangat menyenangkan. Kita bisa berkumpul melakukan banyak hal bersama termasuk bertani, mengolah limbah, dan berternak,” terang Dian, istri Achmad yang telah tinggal secara Cohousing selama tiga tahun.