REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA — Terdakwa tindak pidana korupsi mafia tanah kas desa di Desa Wedomartani, Ngemplak, Kabupaten Sleman, DIY menjalani sidang dengan agenda pembacaan putusan pada Kamis (16/1/2025) kemarin di Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Majelis hakim dalam amar putusannya mengatakan bahwa terdakwa Robinson Saalino (RS) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Hal itu sebagaimana dalam dakwaan primair melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY, Herwatan mengatakan, RS pun divonis dengan pidana penjara selama delapan tahun oleh majelis hakim, dengan perintah agar terdakwa ditahan di rumah tahanan negara (rutan),
“Dan (RS juga) dipidana denda sebesar Rp 300 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan,” kata Herwatan, Jumat (17/1/2025).
Selain itu, kata Herwatan, RS juga dihukum agar membayar uang pengganti dengan jumlah lebih dari Rp 10,3 miliar. Jika RS tidak membayarkan yang pengganti dalam waktu satu bulan sejak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya disita oleh jaksa, dan dilelang untuk membayar uang pengganti.
“Apabila terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama dua tahun,” ucap Herwatan.
RS sendiri sudah menjalani sidang sejak Oktober 2024 lalu dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi mafia tanah kas desa (TKD) Wedomartani tahun 2017-2023 di PN Yogyakarta. Herwatan menuturkan, perbuatan terdakwa bermula ketika telah diperingatkan oleh Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kabupaten Sleman dan Kepala Desa Wedomartani untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan tanah di Desa Wedomartani, dan terdakwa mengetahui tidak ada izin dari Gubernur DIY.
Namun, terdakwa tetap melanjutkan pembangunan pondok wisata berupa Kost Eksklusif Banyujiwo, dengan melakukan kerja sama dengan investor. Dari jumlah investasi yang diperoleh PT. Gunung Samudera Tirtomas, katanya, terdakwa mengambil Rp 1.380.841.997 untuk kepentingan pribadinya.
“Pembangunan Pondok Wisata Banyujiwo yang berada Desa Wedomartani yang melanggar hukum tersebut telah selesai sebanyak 94 kamar dalam periode September 2021 sampai dengan 31 Desember 2023, jumlah pendapatan dari uang sewa kamar kost Banyujiwo tersebut seluruhnya sebesar Rp 1.564.475.000 yang dipergunakan untuk keperluan pemeliharaan, tagihan listrik, air, bagi hasil kepada investor, gaji karyawan dan lain-lain. Sedangkan sisanya sebesar Rp 285.284.557 digunakan terdakwa untuk kepentingan pribadinya,” jelasnya.
Terdakwa diketahui telah menerima uang sebesar Rp 1.380.841.997 dari investor pembangunan Pondok Wisata, dan menerima uang sebesar Rp 285.284.557 dari hasil sewa kamar Kost Banyujiwo. Dengan begitu, jumlah total uang yang didapat untuk memperkaya terdakwa yakni Rp 1.666.126.554.
“Sedangkan, akibat perbuatan terdakwa dalam pemanfaatan tanah Desa Wedomartani secara melawan hukum tersebut, mengakibatkan Kerugian Keuangan Negara sebesar Rp 336.400.000,” kata Herwatan.