Sabtu 01 Mar 2025 15:41 WIB

Antara Profesionalisme dan Dualisme: Ujian Integritas TNI untuk Keberlangsungan Demokrasi

Melihat dinamika domestik saat ini, terlihat mulai muncul kembali dualisme dalam TNI.

Enggar Furi Herdianto
Foto: dokpri
Enggar Furi Herdianto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Enggar Furi Herdianto (Dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia)

Era reformasi telah lebih dari 25 tahun berlalu, dan Indonesia tidaklah lagi seperti yang dulu. Salah satu perubahan utama adalah tumbangnya rezim pemerintahan Presiden Soeharto dan digantikan oleh pemerintahan sipil dari hasil tekanan hebat masyarakat, yang kemudian melahirkan norma baru dalam politik Indonesia: profesionalisme militer.

Era reformasi membawa babak baru posisi militer di Indonesia, di mana militer dituntut untuk berfokus kembali pada tujuan utamanya untuk pertahanan nasional dan menanggalkan peranannya dalam politik praktis serta kekuasaan di berbagai posisi pemerintahan, sebuah peranan besar yang sebelumnya mengakar dalam tentara Indonesia. Perubahan ini disambut positif masyarakat Indonesia, melihat masa depan sipil yang lebih bebas dan independen dalam bersuara maupun berkontribusi dalam perpolitikan nasional.

Namun, perkembangan politik terkini terlihat menjurus ke arah sebaliknya. Dimulai dari pengangkatan sejumlah pejabat aktif kepolisian dan militer untuk memegang posisi penting dalam pemerintahan sipil, hingga dimasukkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR RI di tahun 2025, di mana salah satu poinnya membahas kewenangan personel aktif TNI untuk menjabat di sektor publik. Hal ini semakin memperkuat kekhawatiran akan komitmen menjaga integritas TNI dalam mencegah munculnya dualisme di dalamnya, antara sebagai penjaga pertahanan dan sebagai pelaku aktif dalam politik praktis.

Militer dan Sipil dalam Demokrasi

Profesionalisme militer bukanlah konsep baru. Samuel Huntington, akademisi ternama terkait relasi sipil-militer, berpendapat bahwa perlu ada pemisahan kekuasaan antara pemerintahan sipil dan militer dalam demokrasi. Hal ini penting untuk menjamin berjalannya pemerintahan berbasis pada suara rakyat, sehingga memiliki akuntabilitas kepada publik.

Di sisi lain, dengan tidak masuknya militer ke dalam politik praktis akan meningkatkan efektivitasnya di sektor pertahanan dan keamanan karena militer mampu berfokus pada keahliannya tanpa perlu pertimbangan politis yang besar. Dengan kata lain, sipil berfokus pada pemerintahan dan keputusan politik, sedang militer berfokus pada pengembangan kekuatan pertahanan dan keamanan.

Namun, implementasi profesionalisme militer sering kali kabur, seperti yang terlihat di Thailand dan Mesir. Di Thailand, militer memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan dan telah melakukan lebih dari 20 kudeta, dengan kudeta terakhir pada 2014 yang memperkuat posisinya melalui konstitusi baru. Meski pemilu 2023 menghasilkan kemenangan Move Forward Party, partai tersebut tidak dapat menunjuk Perdana Menteri karena dihalangi Senat yang dipilih oleh militer, dan akhirnya dibubarkan pada 2024 oleh Mahkamah Konstitusi.

Di Mesir, kudeta militer oleh Jenderal Abdul Fattah as-Sisi pada 2014 awalnya dianggap sebagai solusi kebuntuan politik, namun kemudian as-Sisi menggunakan kekerasan untuk membungkam oposisi dan menekan media. Ia juga mencanangkan pemindahan ibukota yang dikritisi sebagai penguat posisi militer, dengan perusahaan militer menguasai proyek pembangunan yang meningkatkan pemasukan militer, serta sistem pengawasan canggih untuk mencegah demonstrasi.

Indonesia sendiri pernah mengalami pemerintahan di bawah kendali militer selama 32 tahun. Pada awal perubahan rezim, terlihat bagaimana kekuatan militer digunakan untuk membungkam oposisi guna memastikan posisi Presiden bisa didapatkan pada 1966. Pun dalam upaya mempertahankan posisi sebagai Presiden selama 32 tahun kepemimpinan dengan penempatan personel aktif militer di berbagai pos penting pemerintahan. Rezim yang kemudian digulingkan karena kekecewaan yang memuncak pada 1998 dan melahirkan reformasi dalam sejarah Indonesia.

Refleksi Kembali Amanat Reformasi

Melihat dinamika domestik saat ini, terlihat mulai muncul kembali dualisme dalam TNI, salah satunya dari tingginya jumlah personel aktif militer dalam tubuh pemerintahan. Sejak 2019-2024, tercatat lebih dari 1.500 personel aktif TNI telah menduduki jabatan sipil di berbagai sektor. Beberapa jabatan di antaranya juga ditengarai ilegal karena menyalahi UU TNI. Sayang, kondisi ini diterjemahkan pemerintah bukan dengan mengevaluasi jumlah personel aktif TNI dalam pemerintahan, namun dengan upaya revisi UU TNI yang sebelumnya menjunjung nilai profesionalisme militer.

Pengawalan publik terhadap dinamika RUU TNI perlu terus dijaga. Semangat reformasi untuk menjamin demokrasi perlu dipertahankan dengan memastikan profesionalisme TNI sebagai penjaga pertahanan dan keamanan nasional dengan tetap mempertimbangkan sisi kemanusiaan personelnya. Demokrasi berdiri di atas nilai akuntabilitas, di mana pemerintahan yang berjalan berdasar pada pilihan rakyat tanpa ada intervensi di dalamnya. Menjaga integritas profesionalisme TNI tidak hanya menjadi tembok penjaga pertahanan dan keamanan negara, namun juga menjadi penjaga marwah institusi TNI di mata rakyat Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement