REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rahmad Salahuddin Tp SAg MPdl
Esensi bulan Ramadhan adalah puasa sebagaimana Allah perintahkan kepada setiap mu’min yang tertuang dalam Alquran Surah al-Baqarah ayat 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Syahru ramadlânalladzî unzila fîhil-qur’ânu hudal lin-nâsi wa bayyinâtim minal-hudâ wal-furqân, fa man syahida mingkumusy-syahra falyashum-h, wa mang kâna marîdlan au ‘alâ safarin fa ‘iddatum min ayyâmin ukhar, yurîdullâhu bikumul-yusra wa lâ yurîdu bikumul-‘usra wa litukmilul-‘iddata wa litukabbirullâha ‘alâ mâ hadâkum wa la‘allakum tasykurûn.”
Artinya: Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).
Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur (QS Al-Baqarah [2]:185)
Rasulullah juga sabdakan dalam haditsnya “…..ja’alallāhu ṣiyāmahu farīḍata(n) wa qiyāma lailih(i) taṭawwu’a(n)..–”
Amalan Bulan Ramadhan: Puasa dan Qiyamul Lail
Allah menjadikan puasanya sebagai kewajiban dan qiyamul lail sebagai ibadah sunnah. Hal tersebut mengandung makna bahwa amalan utama di bulan Ramadhan adalah puasa dan qiyamul lail.
Dalam sebuah tafsir tahlili dijelaskan amalan puasa akan mudah dilaksanakan dengan mudah oleh siapa saja yang beriman kepada Allah.

Oleh karenanya, panggilan pertama kewajiban berpuasa adalah orang-orang yang beriman “yā ayyuhallażīna āmanu kutiba ‘alaikumuṣiyāmu…(QS Al-Baqarah [2]:183).”
Yakni seorang hamba yang selalu mengagungkan Allah dan tidak memilih cara lain selain apa yang diperintahkan oleh Allah SWT, “wa’budullāh(a) walā tusyriqu bihī syai’a(n) (QS An-Nisa’[4]:36).
Kisah Kaum yang Sombong
Namun berbeda dengan mereka yang sombong. Mereka selalu memiliki alasan tanpa sebab udzur syar’i untuk tidak melaksanakan perintah-Nya.
Perilaku seperti ini juga telah digambarkan oleh Allah melalui beberapa kisah. Seperti kisahnya Iblis yang tidak mau sujud kepada nabiullah Adam AS, meski diperintahkan oleh Allah secara langsung dengan alasan dirinya merasa lebih unggul dari Nabi Adam atas ciptaanya (QS Al-A’raf (7): 12).
Padahal Allah SWT tidak pernah memberikan bandingan kebaikan ciptaannya dari asal usulnya kecuali hanya berdasarkan ketaqwaannya -innā akramakum ‘indallāhi atqākum”(QS Al-Hujurat[49]: 13).
Kisah kaum Tsamut dan ‘ad juga merasa tidak perlu mengikuti petunjuk dan perintah Allah melalui para Nabi-Nya.
Sebagaimana juga dilakukan oleh fir’aun dan bani israil kepada nabi Musa dan saudaranya nabi Harun atas kesombongannya (QS Al-Mu’minun [23]:46-47).
Juga Karun yang sombong karena kekayaannya hingga selalu menolak nasihat orang-orang sholeh, dan menganggap hartanya adalah hasil dari kecerdasannya sendiri (QS Al-Qasas [28]: 76-77).
Hingga atas kesombongannya tersebut Allah telah mengunci mati hati, pendengaran, penglihatan mereka sehingga tidak terdengar hidayah/petunjuk-Nya (QS Al-Baqarah (2): 18.
Mereka berjalan dimuka bumi ini dengan gelap gulita dan menjadi sahabat syaithan (wal-lażina kafarū auliyā’uhumuṭ- ṭāgūtu yukhrijūnahum minan-nūri ilaẓ-ẓulumāt(i), ulā’ika aṣḥabun-nār(i), hum fihā khālidūn(a) (QS Al-Baqarah[2]: 257))
Dalam tafsir tahlili, pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan oleh para sahabat Nabi Muhammad Saw ini tidaklah begitu mudah dilakukan kecuali bagi mereka yang benar-benar mengimani Allah dan Rasulnya.
Dalam konteks sejarah masa awal dakwah Islamiyah bulan Ramadhan bertepatan dengan bertemunya dua pasukan, yaitu pasukan Islam yang dipimpin Nabi Muhammad.
Mereka bertemu dengan tentara Quraisy yang dikomandani oleh Abu Jahal, dan pecahnya perang antara pasukan Islam dan tantara kafir Quraisy di Badar pada tahun ke 2 Hijriyah (QS al-Anfāl [8]: 41), sementara para pasukan Islam dalam kondisi berpuasa.
Selain itu, pada bulan Ramadhan juga terjadi peristiwa Fathul Makkah (penaklukan Makkah) di tahun ke-8 Hijriyah.
Rasulullah dan para sahabat dalam kondisi berpuasa memutuskan untuk membebaskan kota Mekah dari penindasan dan penganiayaan terhadap kaum Muslim yang tinggal di Mekah.
Selain itu, Ka’bah yang menjadi qiblat ibadah umat Islam telah disalahgunakan oleh kaum kafir Quraisy untuk kegiatan penyembahan berhala dan ritual-ritual yang tidak sesuai dengan ajaran Tauhid.
Pada tahun yang sama, bulan Ramadhan juga terjadi peristiwa pembebasan kota Taif dalam perang Hunain, yakni pertempuran melawan suku Hawasin dan sekutunya yang merasa terancam oleh kekuatan kaum Muslimin.
Di peristiwa itu, Allah memberikan kemenangan besar sehingga Rasulullah mengirimkan ekspedisi ke Taif untuk membebaskan kota tersebut.
Pada tahun ke-9 Hijriyah dan dalam kondisi berpuasa di bulan Ramadan, Rasulullah beserta umat Muslim melakukan ekspedisi militer ke perbatasan Ramawi di Arab Utara sebagai tindakan pencegahan menghadapi ancaman dari kekaisaran Ramawi Timur (Byzantium) dan sekutunya.
Suku Ghassanid (Arab Kristen yang menjadi sekutu Romawi), diduga akan menyerang kaum Muslim di Jazirah Arab.
Meskipun tidak sampai terjadi peperangan yang besar, keberangkatan pasukan Muslim ke Tabuk berhasil menjalin kesepakatan damai (hubungan diplomatik) dengan beberapa suku di wilayah tersebut dan sebagian diantaranya masuk Islam.
Beberapa penguasa lokal juga setuju untuk membayar jizyah (pajak keamanan) kepada kaum Muslimin, sebagai tanda persekutuan dan perlindungan.
Ekspedisi ke Tabuk dilakukan dalam kondisi yang sangat berat. Musim panas di Jazirah Arab saat itu sangat terik, dan sumber daya seperti makanan dan air sangat terbatas.
Ditambah lagi, perjalanan ke Tabuk sangat jauh, sekitar 700 kilometer dari Madinah, menjadi ujian besar bagi kaum Muslimin yang pada waktu itu mereka sedang berpuasa, untuk menunjukkan keteguhan iman mereka kepada Allah dan Rasulnya.
Akhirnya, perlu kita intropeksi diri dengan puasa yang kita laksanakan di negeri yang damai, yang tidak begitu banyak tantangan dari yang dihadapi sebagaimana masa perjuangan dakwah Islam di masa Rasulullah, dengan didukung oleh musim hujan dan terik matahari hanya 32 derajat Celsius.
Tantangannya hanya pada nafsu kita. Nafsu kitalah yang menjadikan kita memiliki banyak alasan untuk enggan berpuasa, atau berpuasa hanya sekedar menahan makan dan minum saja di siang hari.
Sebaliknya Jika kita menjalankan ibadah puasa dengan ikhlas kepada Allah, pasti kita akan mampu mensyukuri nikmat-Nya.
(wa litukmilul-‘iddata wa litukabbirullâha ‘alâ mâ hadâkum wa la‘allakum tasykurûn) dan Allah akan menghapus dosa-dosa kita kepada-Nya dari yang telah dan akan dilakukan. (ghufira lahu mā taqaddam min danbih(i)) – bersambung