REPUBLIKA.CO.ID, SIDOARJO -- Pengguna Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax kini mulai was-was. Bagaimana tidak, kapan lalu, Pertamax oleh PT Pertamina Patra Niaga (PPN) diduga mengoplos BBM tersebut dengan Pertalite.
Pakar Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Prantasi Harmi Tjahjanti mengatakan bahwa Pertamax dan Pertalite jelas berbeda dan memiliki kegunaan yang harus disesuaikan dengan jenis kendaraan.
“Kita bisa mengetahui tiga perbedaan umum antara kedua jenis BBM ini. Yang pertama adalah pada angka oktan atau RON (Research Octane Number), kualitas, dan harganya,” tutur dosen yang biasa disapa Dr Tasi itu.
Pertamax, kata dia, memiliki angka oktan 92, lebih tinggi daripada Pertalite yang memiliki angka RON 90.
Hal tersebut membuat kualitas Pertamax lebih bagus daripada Pertalite. Begitu juga dengan harganya yang lebih tinggi.
Jika Pertamax dan Pertalite dicampur, dosen prodi Teknik Mesin Umsida itu mengungkapkan bahwa pengoplosan kedua jenis BBM ini bisa menyebabkan perubahan kandungan dan kualitas yang menurunkan nilai oktan.
Jika Pertamax dan Pertalite dicampur, Dr Tasi menjelaskan bahwa kendaraan yang memiliki bahan bakar oplosan ini, kemungkinan masih belum begitu merasakan dampak dalam jangka pendek.
Namun, dampak jangka panjang utama dari pengoplosan Pertamax dan Pertalite ini adalah penurunan kinerja mesin dan efisiensi pembakaran.
“Misalnya, kendaraan tersebut harusnya bisa melaju dengan kencang. Namun karena bahan bakar yang dicampur, membuat kecepatan kendaraan menjadi kurang stabil dan bahan bakar terasa lebih boros,” jelas doktor lulusan ITS itu.
Hal tersebut juga bisa menyebabkan kerusakan pada komponen mesin yang biasanya berdampak pada piston, ring, atau pada silindernya.
Terlebih untuk kendaraan bermotor keluaran terbaru, mereka memiliki sistem pembakaran mesin yang lebih kompleks sehingga lebih berbahaya jika menggunakan jenis BBM oplosan ini.
Lalu terkait Pertamax dan Pertalite ini, juga bisa menyebabkan polusi udara dan air yang lebih parah. Jadi hal itu juga bisa menyebabkan kerusakan lingkungan.
“Gas yang dihasilkan kendaraan bermotor ada CO atau karbon monoksida. Gas inilah yang menjadi penyebab polusi udara. Bahkan, gas CO lebih berbahaya daripada karbondioksida yang bisa mengganggu pernapasan manusia,” ujarnya.
Ada pula dampak lain dari kasus pengoplosan kedua jenis BBM ini yaitu beralihnya masyarakat yang mulai menggunakan BBM swasta.
Katakan saja Shell yang merupakan perusahaan minyak dan gas dari Britania Raya yang mulai ramai digunakan masyarakat yang mungkin saja sudah merasa trust issue atas kasus ini.
Jika ingin mengetahui Perbedaan Pertamax dan pertalite, Dr Tasi memiliki beberapa cara untuk mengidentifikasinya.
Perbedaan itu bisa dilihat melalui label kemasan BBM, bau, warna, dan viskositas atau kekentalan.
“Biasanya warna yang asli itu jernih dan memiliki bau yang khas. Bisa juga mengecek keasliannya menggunakan viskositasnya. Kalau Pertamax asli memiliki tingkat viskositas tinggi,” jelas Dr Tasi.
Untuk menghindari dampak dari pengoplosan BBM, Dr Tasi yang memiliki beberapa solusi.
Yang pertama adalah penggunaan BBM yang dialihkan ke Pertamax Dex. Namun harga BBM ini cukup tinggi yang mungkin saja sulit dijangkau masyarakat luas.
Selain itu, penggunaan biofuel (BBM organik seperti tumbuhan) juga bisa menjadi solusi, namun biofuel ini kurang diperhatikan.
“Inovasi seperti ini tidak bisa jika dijalankan oleh para akademisi. Hal ini membutuhkan kolaborasi dengan pihak lain seperti Kementerian agar penelitian tidak berhenti begitu saja,” tuturnya.
Ia menegaskan bahwa masyarakat harus mulai memperhatikan betul bahan bakar yang cocok sesuai dengan jenis kendaraan yang digunakan.
Selain itu, pemeriksaan kendaraan secara rutin di tempat yang resmi juga bisa menjaga kendaraan.