REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rahmad Salahuddin
Umat Islam di seluruh dunia merayakan hari raya Idul Fitri setelah sebulan menahan haus, lapar, dan nafsu. Namun, apa hubungan antara menahan diri tersebut dengan hari raya Idul Fitri?
Puasa Ramadhan dan Idul Fitri adalah dua momentum spiritual yang saling terhubung erat. Keduanya hadir bukan hanya sekedar ritual tahunan, tetapi sebagai jalan kembali menuju hakikat manusia yang suci—kembali pada fitrah, meraih takwa, serta memperkuat hubungan manusia dengan Allah dan sesamanya. Lalu, seperti apa hubungan kedua peristiwa yang mulia itu?
Hubungan Puasa Ramadhan dan Idul Fitri
Perintah Mengagungkan Nama Allah
Hubungan antar puasa Ramadhan dengan Idul Fitri terkait dalam dua hal. Yang pertama adalah perintah untuk mengagungkan nama Allah melalui takbir, tahmid, dan tahlil yang dikumandangkan pada malam 1 Syawal hingga menjelang pelaksanaan ibadah sholat Id sebagai perwujudan syukur kepada Allah atas kembalinya jati diri manusia atas fitrahnya sebagaimana perintah Allah dalam Alquran, tepatnya surat Al-Baqarah ayat 185:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ …
…wa litukmilul-‘iddata wa litukabbirullâha ‘alâ mâ hadâkum wa la‘allakum tasykurûn
Artinya: “…dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur (QS Al Baqarah: 185)
Menjadi Pribadi yang Bertakwa
Kedua, hubungan Ramadhan dengan Idul Fitri terkait dengan tujuan puasa untuk menjadi pribadi yang bertakwa. Hal tersebut dituangkan dalam Surat Al Baqarah ayat 183 yang berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
yâ ayyuhalladzîna âmanû kutiba ‘alaikumush-shiyâmu kamâ kutiba ‘alalladzîna ming qablikum la‘allakum tattaqûn
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (QS Al-Baqarah: 183)
Takwa merupakan pribadi utama dari diri manusia yang diharapkan oleh Allah dalam penciptaannya “Inna akromakum ‘indallāhi atqākum” – Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa (QS Al-Hujurat: 13).
Pribadi takwa ini merupakan perwujudan dari jati diri manusia yang sesungguhnya, yakni kembali kepada fitrah. Dengan demikian, kembali kepada fitrah sesungguhnya kembali kepada pribadi yang bertakwa dengan kata kunci kembali kepada kecenderungan kepada tauhid serta kepada kebaikan dan kebenaran sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 36:
وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّبِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبٰى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْۢبِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ وَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُوْرًاۙ
wa‘budullâha wa lâ tusyrikû bihî syai'aw wa bil-wâlidaini iḫsânaw wa bidzil-qurbâ wal-yatâmâ wal-masâkîni wal-jâri dzil-qurbâ wal-jâril-junubi wash-shâḫibi bil-jambi wabnis-sabîli wa mâ malakat aimânukum, innallâha lâ yuḫibbu mang kâna mukhtâlan fakhûrâ.
Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, serta hamba sahaya yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.” (QS An-Nisa’: 36).