Kamis 17 Apr 2025 13:50 WIB

Ekonom UGM: Makan Bergizi Gratis Solusi Tekan Kemiskinan Jika Tepat Sasaran

Tingkat kerentanan kemiskinan di Indonesia masih tergolong tinggi.

Ekonom UGM, Wisnu Setiadi Nugroho
Foto: Republika/Fernan Rahadi
Ekonom UGM, Wisnu Setiadi Nugroho

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi program prioritas Presiden Prabowo Subianto belum juga berhenti menjadi buah bibir banyak pihak. Apalagi, program ini memakan anggaran yang cukup besar. Dalam APBN 2025, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 71 triliun untuk mendanai program ini dengan target 19,47 juta penerima manfaat.

Ekonom UGM, Wisnu Setiadi Nugroho, PhD menilai program ini dapat menjadi strategi jitu untuk menekan angka kemiskinan dengan catatan pelaksanaannya dilakukan secara tepat sasaran. Ia menilai, jika program MBG diterapkan secara merata untuk semua siswa tanpa melihat kondisi ekonomi, maka efektivitasnya akan berkurang.

Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah agar fokus hanya pada siswa dari keluarga kurang mampu. "Skema cash transfer ke sekolah jauh lebih efisien. Mereka tahu kebutuhan muridnya dan bisa bekerja sama dengan pelaku UMKM dan BUMDes,” katanya saat mengisi forum Ekonomika Bisnis Journalism Academy di Pertamina Tower, Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM awal pekan ini.

Ia juga mendorong pelaksanaan program yang bersifat desentralistik dengan pengawasan dari pemerintah pusat, khususnya dalam menetapkan standar gizi nasional. “Desentralisasi ini bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lokal lewat keterlibatan pelaku usaha setempat," ujarnya.

Ia menyampaikan bahwa skema makanan gratis di sekolah bukanlah hal baru dan telah diterapkan di sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat (AS).

“Di AS, bantuan diberikan lewat skema transfer langsung ke kantin sekolah bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu. Tidak ada labelisasi, sehingga menghindari stigma dan bullying," ujarnya.

Menurut Wisnu, mekanisme seperti ini tak hanya lebih adil, tetapi juga memperkuat fungsi kantin sekolah sebagai pihak yang memahami kebutuhan gizi siswa. Ia menyarankan agar program di Indonesia mengandalkan bahan pangan lokal untuk mendukung perekonomian daerah dan memberdayakan petani.

“Program seperti ini semestinya tidak membuka keran impor. Justru sebaliknya, kita bisa memperkuat perdagangan antar daerah melalui tukar komoditas," katanya menegaskan.

Kerentanan kemiskinan di Indonesia masih tinggi

Dalam kesempatan tersebut, koordinator Bidang Kajian Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan EQUITAS itu mengatakan, tingkat kerentanan kemiskinan di Indonesia masih tergolong tinggi. 

Per September 2024, jumlah penduduk miskin mencapai 24,06 juta jiwa. Angka ini memang turun dari Maret 2024 yang tercatat 25,22 juta jiwa, tetapi etap mencerminkan permasalahan yang belum tuntas.

"Pada 2023 garis kemiskinan penduduk miskin lebih dari 25,89 juta jiwa, angkanya fluktuatif tinggi," kata Wisnu.

Wisnu menjelaskan, kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua kategori yakni absolut dan relatif. Kemiskinan absolut merujuk pada ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan pakaian. Sedangkan kemiskinan relatif adalah, posisi relatif dari beberapa unit ekonomi, misalnya individu rumah tangga, kelompok ras, yang dibandingkan dengan unit ekonomi.

"Seseorang dapat relatif miskin tetapi tidak absolut miskin, ini benar-benar berkaitan dengan distribusi pendapatan di suatu negara," jelasnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement