Jumat 25 Apr 2025 14:43 WIB

Unconference ICRS Soroti Polarisasi Sebagai 'Hyper Problem' Negara-Negara Global South

Brasil dan Kolombia juga menghadapi tantangan pemakaian agama sebagai alat politik.

Rep: Nazwa Azura Citra Wardana/ Red: Fernan Rahadi
Suasana konferensi pers Unconference Polarization and Its Discontent in the Global South: Mitigation Measures, Strategies and Policies yang digelar Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) pada 24–25 April 2025 di UC Hotel, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis (24/4/2025).
Foto: Nazwa Azura Citra Wardana
Suasana konferensi pers Unconference Polarization and Its Discontent in the Global South: Mitigation Measures, Strategies and Policies yang digelar Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) pada 24–25 April 2025 di UC Hotel, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis (24/4/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Krisis global dan nasional mendorong dunia, khususnya negara-negara Global South ke titik-titik perpecahan baru. Polarisasi yang disebut sebagai hyper problem atau persoalan induk yang memperumit penyelesaian masalah-masalah lain menjadi fokus utama dalam Unconference “Polarization and Its Discontent in the Global South: Mitigation Measures, Strategies and Policies” yang digelar Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) pada 24–25 April 2025 di UC Hotel, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Dalam diskusi, Daniel Medina dari Institute for Integrated Transitions (IFIT), Kolombia, menegaskan bahwa polarisasi adalah persoalan yang memperparah kesulitan dalam mengatasi isu-isu struktural seperti ketidaksejajaran, kesenjangan, dan kemiskinan. Daniel menyoroti kemiripan antara Kolombia dan Indonesia sebagai negara yang sangat plural dan beragam, namun sama-sama menghadapi konflik berkepanjangan.

"Konferensi ini menjadi tempat yang tepat untuk saling belajar dari pengalaman penanganan polarisasi di berbagai negara," ujarnya.

Sementara itu, Ana Carolina dari Institute of Studies on Religion (ISER), Brasil, menambahkan bahwa Indonesia, Brasil, dan Kolombia juga menghadapi tantangan serupa terkait krisis iklim dan migrasi, serta penggunaan agama sebagai alat politik yang berpotensi memecah belah masyarakat. Ia menyoroti fenomena mobilisasi agama yang mulai muncul di Brasil sejak 2018, yang menandai babak baru dalam dinamika polarisasi sosial di negara tersebut.

Situasi di Indonesia sendiri digambarkan sebagai 'Indonesia Gelap', istilah yang merujuk pada gejolak hukum, krisis demokrasi, serta tekanan terhadap kebebasan sipil yang berjalan seiring dengan polarisasi politik pasca-pemilu.

Rencana Presiden terpilih Prabowo untuk menerima 1.000 pengungsi Palestina di tengah keresahan sosial menjadi salah satu isu yang memperlihatkan kompleksitas polarisasi di tanah air. Menurut Dr Zainal Abidin Bagir dari ICRS, agama kerap dijadikan alat politik yang memperdalam perpecahan sosial. Narasi keagamaan yang inklusif dinilai penting untuk meredam konflik identitas dan memperkuat kohesi sosial.

Sementara Dr. Dicky Sofjan dari ICRS juga menekankan perlunya memperkuat ruang sipil dan etika kolektif di tengah ancaman disintegrasi sosial.

Unconference ini mengusung format partisipatif yang memungkinkan peserta aktif mengusulkan topik dan berbagi pengalaman. Diskusi difokuskan pada empat klaster utama yaitu Politik Polarisasi Berbasis Agama, Polarisasi dan Keadilan Lingkungan, Gender, Polarisasi, dan Keadilan Sosial, dan Inklusi Digital bagi Kelompok Minoritas.

Berbeda dari konferensi akademik konvensional, Unconference ICRS mengedepankan partisipasi aktif peserta. Mereka dapat mengusulkan topik diskusi, berbagi pengalaman, dan membangun jejaring lintas negara serta disiplin. Suasana santai dan terbuka diharapkan mendorong percakapan yang jujur dan konstruktif, memperkuat solidaritas lintas batas dalam menghadapi tantangan polarisasi global.

Didukung oleh Ford Foundation, acara ini menghadirkan tokoh-tokoh dari berbagai negara yang berpengalaman dalam merespons polarisasi dan krisis sosial. Melalui pertukaran pengetahuan lintas negara, ICRS berharap dapat memperkuat solidaritas dan merumuskan strategi mitigasi polarisasi yang efektif dan berkeadilan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement