REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Banjir yang kerap mengguyur Tambakrejo, ujung utara Kota Semarang, bukan sekadar musibah alam. Banjir telah menjadi bagian dari hidup yang datang nyaris setiap musim hujan. SDN Tambakrejo pun tak luput menjadi langganan banjir yang mengakibatkan terhapusnya jejak langkah kecil di koridor sekolah, merusak meja belajar, dan yang lebih memilukan merusak buku-buku di perpustakaan serta pojok baca di kelas.
Buku-buku yang dulu menjadi jendela dunia bagi anak-anak kini banyak yang sobek, kusut, bahkan lenyap tak bersisa karena banjir.
Namun, di tengah genangan itu, semangat belajar tetap bertahan. Di bawah kepemimpinan Tri Sugiyono, SDN Tambakrejo 01 tetap gagah berdiri. Budaya literasi yang mereka bangun dengan susah payah tidak dibiarkan hancur bersama tingginya genangan air.
Bagi Tri Sugiyono, tantangan dan permasalahan sudah menjadi bagian dari perjalanan panjangnya di dunia pendidikan. Memulai karier sebagai guru di SDN Kemijen 01 dan SDN Sarirejo (Kartini), ia menapaki jalan pendidikan dengan dedikasi keras, kerja cerdas, dan visi yang jelas.
Berbagai penghargaan pernah ia raih, dari juara Guru Prestasi tingkat Kota Semarang hingga menjadi finalis tingkat nasional.
Di tengah perjalanan kariernya, Tri juga aktif menjadi Fasilitator PINTAR Tanoto Foundation. Hal itu memperkuat perannya dalam menggerakkan perubahan berbasis literasi dan numerasi di sekolah-sekolah.
Ketika 2021 ia ditugaskan memimpin SDN Tambakrejo 01, tantangan besar langsung menghampar di hadapannya. Banjir tahunan merusak fasilitas, memperparah rendahnya minat baca peserta didik, dan memperlemah dukungan masyarakat terhadap sekolah.
Di suatu sore selepas banjir besar, berdiri di tengah lantai yang masih basah, Tri Sugiyono berkata kepada rekan gurunya, "Buku itu jendela dunia. Kalau jendelanya rusak, bagaimana mereka bisa melihat dunia?"
Kegelisahan itu melahirkan sebuah tekad baru, untuk membuka kembali jendela-jendela yang telah ditutup paksa oleh banjir.
Dari keresahan itu, lahirlah ide sederhana namun revolusioner, Sudut Baca Digital (Subadi). Bersama para guru, Tri mulai mendigitalisasi karya-karya peserta didik dan berbagai bacaan penting.
“Subadi adalah tempat buku-buku digital karya peserta didik tersimpan dan dapat diakses kapan saja melalui gawai mereka,” kata Tri dalam siaran pers, Jumat (2/5/2025).
Setiap kelas dari kelas 1 hingga kelas 6 memiliki sudut baca digital sendiri, yang dapat diakses melalui tablet, laptop, maupun gawai.
Buku tak lagi harus bertahan di rak-rak kayu rapuh. Kini, cerita dan ilmu hidup telah hadir di sekotak layar kecil dalam genggaman tangan anak-anak, di mana pun dan kapan pun mereka mau membaca.
Subadi tidak hanya menyelamatkan buku-buku dari banjir. Ia mengubah cara berpikir seluruh warga sekolah tentang literasi. Membaca bukan lagi beban, melainkan pengalaman yang akrab, menyenangkan, dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari peserta didik.
Tri sadar, perubahan sejati tidak bisa lahir dari satu orang saja. Maka, ia menggerakkan seluruh warga sekolah. Mulai dari guru, peserta didik, orang tua, bahkan masyarakat sekitar.
Guru-guru mengikuti pelatihan literasi dan numerasi berbasis teknologi. Peserta didik diajak menulis cerita digital mereka sendiri, membuat ilustrasi di buku gambar mereka, memindai halaman per halamannya, dan mengunggahnya ke sudut baca digital di kelas masing-masing agar dapat diakses teman-teman mereka.
Orang tua tak hanya mengantarkan anak-anak mereka ke sekolah, tetapi turut menghias sudut baca, menyumbang perangkat sederhana, bahkan mengajar dalam program "Orang Tua Mengajar" setiap Jumat pekan keempat. Budaya gotong royong yang lahir membuat perubahan terasa nyata di setiap sudut sekolah.
Sebagai guru yang turut menyaksikan transformasi ini, Erma Khristiyowati, berbagi pengalamannya. "Sebagai guru di sekolah ini, saya sangat mengapresiasi hadirnya Subadi yang diprakarsai oleh Pak Tri," ujarnya.
"Inovasi ini membuat membaca menjadi kegiatan yang lebih menyenangkan. Siswa lebih aktif, mandiri, dan terbiasa mencari informasi melalui sumber digital yang terpercaya. Ini sungguh membantu kami dalam menyelaraskan pembelajaran yang sesuai dengan zamannya," kara Erma.
Perubahan itu pun berbicara lewat angka. Tri menjabarkan, tingkat literasi pada Rapor Pendidikan Sekolah yang pada 2022 tercatat 50 persen melonjak menjadi 88,89 persen pada 2024.
Numerasi yang semula hanya 26,67 persen kini merangkak naik menjadi 77,78 persen. Di tengah keterbatasan fasilitas, angka-angka ini bukan sekadar statistik. Mereka adalah hasil dari semangat, kerja keras, dan kolaborasi seluruh warga sekolah.
Prestasi formal pun tak ketinggalan. SDN Tambakrejo 01 kini menjadi Sekolah Penggerak Kota Semarang, meraih Pelaksana Terbaik 2 Sekolah Ramah Anak pada 2024, serta menjadi rujukan bagi banyak sekolah lain dalam pengelolaan literasi dan numerasi.
Namun, bagi Tri Sugiyono, pencapaian ini bukan tujuan akhir. Ia memandang perubahan yang sesungguhnya ada pada wajah-wajah kecil yang kini lebih suka membaca, lebih aktif berimajinasi, dan lebih gigih belajar.
“Dengan Subadi siswa menjadi lebih semangat membaca dan menulis,” kata Tri.
Pada Hari Pendidikan Nasional 2025 ini, dengan tema "Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua," kisah SDN Tambakrejo 01 berdiri sebagai bukti nyata bahwa pendidikan bermutu tidak harus lahir dari gedung megah atau fasilitas berlimpah.
Ia lahir dari tekad untuk bergerak bersama, dari tangan-tangan yang mau bergandengan, dari mimpi-mimpi kecil yang dijaga dan dibesarkan setiap hari.
Partisipasi di SDN Tambakrejo 01 hidup bukan dalam slogan, tetapi dalam tindakan nyata. Guru yang tak lelah belajar, peserta didik yang terus membaca dan menulis, orang tua yang ikut membangun sudut baca, serta kepala sekolah yang terus menyalakan semangat perubahan. Semuanya bergerak dalam satu irama, yaitu membangun masa depan anak-anak di tengah segala keterbatasan.
Hari ini, SDN Tambakrejo 01 mungkin masih berdiri sederhana di pinggiran kota. Namun, siapa pun yang melangkah ke dalamnya akan segera tahu, bahwa di balik tembok sederhana itu, tumbuh harapan besar.
“Buat kami buku digital ini membuatnya aman dari banjir, tetapi lebih dari itu cara ini memastikan setiap karya anak tetap tersimpan dan bermanfaat bagi generasi berikutnya," kata Tri.
Bahwa dari genangan air yang datang setiap tahun, literasi tetap tumbuh. Bahwa dari sudut-sudut baca digital sederhana, anak-anak Tambakrejo kembali membuka jendela dunia mereka.