Rabu 28 May 2025 12:26 WIB

Wali Kota Yogyakarta Dorong Kolaborasi Pemuda dalam Ekonomi Urban

Hasto mengatakan lebih memilih mengikuti cara berpikir generasi muda.

Rep: Muhammad Rozy/ Red: Fernan Rahadi
Wali Kota Yogyakarta Hasto Wardoyo berdialog dengan para peserta Youth Summit Urban Economy 2025 di Ruang Yudhistira, Balai Kota Yogyakarta, Selasa (27/5/2025).
Foto: Muhammad Rozy
Wali Kota Yogyakarta Hasto Wardoyo berdialog dengan para peserta Youth Summit Urban Economy 2025 di Ruang Yudhistira, Balai Kota Yogyakarta, Selasa (27/5/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pemerintah Kota Yogyakarta bersama komunitas Yogyakarta Future Leaders (YFL) menggelar Youth Summit Urban Economy di Ruang Yudhistira, Balai Kota Yogyakarta, Selasa (27/5/2025).

Kegiatan ini diinisiasi sebagai ruang dialog antara Wali Kota Yogyakarta Hasto Wardoyo dengan generasi muda dari berbagai forum pelajar, mahasiswa, hingga duta remaja, untuk membahas arah pembangunan ekonomi urban yang digerakkan oleh anak muda.

Dalam sambutannya, Wali Kota Hasto Wardoyo menekankan pentingnya ideologi dalam membangun kedaulatan ekonomi. Ia mengajak pemuda untuk tidak hanya menjadi konsumen pasif produk asing, tetapi juga menjadi pelopor berdirinya ekonomi yang mandiri, adil, dan berbasis rakyat.

“Kita ini sudah berdaulat secara politik sejak merdeka. Tapi apakah kita sudah merdeka secara ekonomi? Kalau makan tempe saja 90 persen kedelainya impor, lalu di mana kedaulatan ekonomi itu?” ujar Hasto.

Hasto juga menyoroti pola konsumsi generasi muda yang masih terjebak dalam ketergantungan pada produk luar negeri, termasuk air minum dalam kemasan hingga mi instan. Menurutnya, pemuda harus mulai membangun industri lokal, sekecil apapun skalanya.

“Bikin air minum sendiri, bangun toko milik rakyat seperti Tomira, bukan terus-menerus menyetor keuntungan ke segelintir pemilik modal besar,” katanya.

Hasto juga menyampaikan bahwa pemerintah perlu membuka ruang selebar mungkin agar ide-ide anak muda bisa tumbuh dan diakomodasi dalam kebijakan. Ia mengaku lebih memilih mengikuti cara berpikir generasi muda ketimbang bersikukuh pada pendekatan birokrasi lama.

“Saya lebih baik berpikir dengan visinya anak muda daripada visi saya sendiri. Karena otaknya anak muda itu segar. Birokrat itu kadang kena sindrom ‘saya paling tahu’. Nah, ini yang perlu kita tinggalkan,” katanya.

Sementara itu, Ketua Pelaksana Youth Summit, Renata Octaviani, menjelaskan bahwa forum ini lahir dari keresahan dan inisiatif anak muda atas kondisi ekonomi perkotaan saat ini. YFL, yang terbentuk sejak setahun terakhir, menggandeng berbagai forum anak dan remaja untuk merumuskan aspirasi bersama.

“Kami hadir sebagai jembatan antara pemerintah dan anak muda. Lewat forum ini, kami menyampaikan 28 esai kebijakan yang ditulis pemuda tentang UMKM, ekonomi digital, ekonomi kreatif, dan banyak lagi,” ujar Renata.

Renata menambahkan bahwa pilihan tema ekonomi perkotaan merupakan hasil dialog langsung dengan Wali Kota, yang menilai anak muda punya potensi besar sebagai penggerak ekonomi baru. Ia berharap kolaborasi ini bisa berlanjut menjadi kebijakan yang nyata.

Youth Summit Urban Economy menjadi bagian dari upaya membangun ekosistem ekonomi kota yang inklusif, berbasis ideologi kemandirian, dan memperkuat posisi pemuda sebagai aktor utama dalam pembangunan ekonomi daerah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement