REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketegangan antara warga Tegal Lempuyangan dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daop 6 Yogyakarta kembali mengemuka menyusul diterbitkannya Surat Peringatan (SP) ke-3 kepada warga yang tinggal di sekitar kawasan Stasiun Lempuyangan. Seperti diketahui, KAI Daop 6 telah mengirimkan surat peringatan pertama kepada warga pada 21 Mei kemudian disusul SP kedua pada 4 Juni lalu.
SP3 tersebut menjadi sinyal bahwa proses pengosongan lahan akan segera dilakukan. Namun dalam pertemuan mediasi yang berlangsung, warga masih berharap adanya kelonggaran waktu, setidaknya hingga perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Warga ingin merayakan Hari Kemerdekaan untuk terakhir kalinya di tempat tinggal yang telah mereka huni selama puluhan tahun itu sebelum dilakukan pengosongan.
"Ini bukan sekadar permintaan penundaan, tetapi bentuk penghormatan terhadap momen kebangsaan dan kenangan panjang warga atas tanah kelahiran mereka," ujar juru bicara warga, Antonius Fokki Ardiyanto, Selasa (17/6/2025).
Ia menyebut permintaan itu bersifat kemanusiaan dan masih dalam batas waktu yang wajar yakni hingga pertengahan Agustus. Dalam kesempatan ini, warga juga masih mempertanyakan kecukupan nilai kompensasi yang ditawarkan.
Mereka meminta adanya pengukuran ulang sebagai dasar perhitungan kompensasi yang lebih adil, sebab, warga menilai kompensasi dari PT KAI maupun Keraton Yogyakarta tidak cukup untuk membeli rumah baru. Fokki berharap agar Keraton Yogyakarta turut berperan dalam memberikan solusi yang layak.
"Dari Keraton itu Rp 56 juta, kurang Rp 53 juta. Nah, sekarang kalau misalnya itu Rp 53 juta ditambah rata-rata kompensasi dari KAI Rp 50 juta, maka pertanyaan lanjutannya, apakah itu bisa untuk memenuhi hak konstitusional warga negara untuk bertempat tinggal?" ucapnya.
"Idealnya ya sesuai dengan harga rumah KPR aja lah, itu antara Rp 250 juta," katanya menambahkan.
Sementara itu, Kuasa Hukum warga dari LBH Yogyakarta, Muhammad Rakha Ramadhan, menekankan perlunya melihat konflik ini dari sisi hak asasi manusia. Ia menyayangkan tidak adanya respons dari PT KAI terhadap surat keberatan warga, yang kemudian mendorong mereka menginisiasi ruang mediasi.
"Banyak penghuni saat ini adalah keluarga dari mantan pegawai KAI yang telah mengabdi. Sudah sepantasnya perlakuan terhadap mereka dilakukan dengan adil dan manusiawi,” ujar Rakha.
Rakha juga menyoroti minimnya ruang dialog. Menurutnya, surat keberatan warga sebelumnya tidak pernah ditanggapi secara resmi oleh KAI. Karena itu, warga memutuskan untuk kembali membuka ruang mediasi, meskipun berada dalam posisi tertekan secara waktu dan prosedural.
"Jangan sampai pembangunan di Yogyakarta justru mengorbankan warganya sendiri. Kalau permintaan sederhana seperti ini saja tak dikabulkan, inilah potret wajah pembangunan kita hari ini," ucapnya.
Pihak KAI Daop 6, melalui Manager Humas Feni Novida Saragih, menyatakan bahwa seluruh proses penataan telah mengikuti prosedur yang ditetapkan, mulai dari sosialisasi, mediasi, hingga tahapan penerbitan surat peringatan telah dilakukan sejak lama.
"SP 3 sudah kami layangkan, dan masa tenggang akan berakhir Kamis ini. Kami tetap berpedoman pada aturan. Namun kami juga mencatat aspirasi warga dan akan meneruskannya ke pimpinan pusat," ujar Feni.
Menanggapi permintaan warga agar kompensasi setara harga rumah KPR, Feni menjelaskan bahwa KAI terikat pada ketentuan internal terkait nilai ganti dan biaya bongkar.
"Kami tidak bisa keluar dari prosedur resmi," ungkapnya.
Terkait permintaan penundaan pengosongan hingga Agustus, Feni menyebut hal tersebut akan diusulkan ke manajemen pusat, tetapi keputusan tetap berada di tangan pimpinan. Feni juga menyampaikan bahwa beberapa kepala keluarga telah mulai mengosongkan bangunan secara sukarela.
"Situasi di lapangan masih berkembang. Setelah masa tenggang berakhir, akan ada evaluasi lanjutan," katanya.
Lebih lanjut, KAI menegaskan bahwa pengosongan lahan itu untuk pengembangan kawasan Stasiun Lempuyangan sekaligus bertujuan memperbaiki fasilitas publik dengan tetap berkoordinasi dengan Keraton Yogyakarta sebagai pihak terkait dalam pengelolaan aset.