Rabu 09 Jul 2025 18:24 WIB

Anak Muda, Karier, dan Pencarian Makna

Negara dan masyarakat perlu memperluas definisi kerja dan sukses dalam konteks baru.

Anak muda (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Anak muda (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Prof Dwi Sulisworo (Ketua Program Studi Pendidikan Program Doktor Universitas Ahmad Dahlan)

Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan perubahan mencolok dalam cara generasi muda Indonesia memandang dunia kerja. Jika pada era sebelumnya pekerjaan tetap dengan gaji besar dianggap sebagai puncak kesuksesan, kini banyak anak muda yang memilih jalur berbeda: menjadi pelaku usaha mikro digital, pekerja lepas di berbagai platform, hingga pembuat konten di media sosial. Orientasi ini tidak sekadar tentang pendapatan, melainkan tentang kebebasan, keseimbangan hidup, dan makna personal.

Fenomena ini perlu disikapi dengan arif terutama terkait data terkini yang dirilis Kementerian Ketenagakerjaan RI. Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menyebutkan bahwa lebih dari satu juta lulusan universitas di Indonesia saat ini berstatus menganggur. Angka ini tidak dapat semata-mata dibaca sebagai ada kesenjangan antara sistem pendidikan tinggi dan pasar kerja.

Perkembangan teknologi digital saat ini telah mengubah landskap dan dinamika kebutuhan pasar kerja yang semakin digital dan fleksibel. Ada kecenderungan kuat saat ini bahwa lulusan pendidikan formal mulai bergeser minat yang lebih menyukai dunia kerja yang lebih cair, terdesentralisasi, dan berbasis kompetensi. Isu-isu seperti “quiet quitting”, "life-work balance", dan "freeter" menandakan adanya pergeseran anak muda pada minat bekerja mereka.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2024 menunjukkan bahwa 68,95 persen tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal. Angka ini menunjukkan kecenderungan kuat bahwa banyak warga, termasuk generasi muda, memilih bekerja secara mandiri dibanding bergantung pada perusahaan atau institusi formal. Fenomena serupa juga terjadi di tingkat regional.

Survei Qualtrics (2022) menyebut bahwa 60 persen pekerja di Asia Tenggara lebih memilih fleksibilitas kerja daripada struktur kerja konvensional. Tren ini menunjukkan bahwa preferensi generasi muda terhadap jam kerja fleksibel dan model kerja hybrid atau remote bukanlah fenomena lokal semata, melainkan bagian dari perubahan global. Informasi ini juga didukung kajian lain yang dilakukan oleh PwC APAC Report (2022) ataupun LinkedIn Insights (2023).

Pandemi Covid-19 mempercepat perubahan ini. Ketika banyak perusahaan beralih ke sistem kerja jarak jauh, anak muda menyadari bahwa produktivitas tidak harus dikaitkan dengan kehadiran fisik di kantor. Mereka mulai mengevaluasi ulang makna dari bekerja.

Studi-studi internasional, termasuk yang dimuat dalam laporan Harvard Business Review, menunjukkan bahwa makna kerja (meaningful work) kini menjadi faktor penting dalam keputusan karier, bahkan lebih dari sekadar imbalan finansial. Di sisi lain, generasi muda juga melihat realitas hidup generasi sebelumnya. Orang tua mereka bekerja keras puluhan tahun dalam struktur kerja formal, namun kerap menghadapi tekanan, keterasingan, bahkan kelelahan fisik dan mental. Hal ini memicu refleksi generasi baru untuk tidak sekadar "bertahan hidup", tetapi mencari kehidupan yang lebih utuh dan seimbang.

Menurut sejumlah pakar sosiologi, fenomena ini tidak bisa dipahami hanya dari sisi ekonomi. Perubahan nilai, ekspektasi terhadap hidup, serta paparan terhadap keberagaman pilihan karier di era digital turut membentuk pola pikir generasi muda saat ini. Mereka tidak menolak kerja keras, tetapi menolak keterikatan yang tidak memberi ruang untuk berkembang dan mengekspresikan diri.

Namun, realitas ini juga membawa tantangan. Sistem ketenagakerjaan nasional belum sepenuhnya siap menghadapi pergeseran ini. Perlindungan sosial, jaminan kesehatan, dan kepastian hukum bagi pekerja informal dan digital masih sangat terbatas. Padahal, jika tidak ditanggapi dengan kebijakan adaptif, generasi produktif ini bisa terjebak dalam ketidakstabilan ekonomi jangka panjang.

Karena itu, negara dan masyarakat perlu memperluas definisi kerja dan sukses dalam konteks baru. Sistem pendidikan harus dirancang ulang untuk membekali anak muda dengan kompetensi abad ke-21, mulai dari literasi digital, kewirausahaan, hingga keterampilan interpersonal. Di sisi lain, regulasi ketenagakerjaan juga harus inklusif terhadap mereka yang bekerja di luar jalur konvensional.

Anak muda hari ini tidak sedang lari dari tanggung jawab. Mereka sedang mencari bentuk hidup yang sesuai dengan zamannya yang lebih fleksibel, bermakna, dan manusiawi. Kita tidak perlu memaksa mereka kembali ke pola lama, melainkan menciptakan ruang aman agar mereka dapat tumbuh dengan caranya sendiri, di dunia yang terus berubah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement