Senin 25 Aug 2025 14:28 WIB

Menguak Realitas Dana Abadi Pesantren

Gagasan dana abadi pesantren tidak boleh berhenti sebagai retorika politik.

Mubasyier Fatah
Foto: dokpri
Mubasyier Fatah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mubasyier Fatah (Enterpreneur, Bendahara Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU))

Setiap menjelang momentum politik, gaung dana abadi pesantren kembali terdengar. Isu tersebut kerap diangkat sebagai komitmen mulia: solusi bagi ekonomi pesantren, penyangga biaya sehari-hari, sekaligus jalan menuju pendidikan yang lebih bermutu.

Namun, sayangnya, retorika itu tak pernah diikuti dengan langkah nyata. Realitasnya? Wacana menguap seperti asap—nyaring di panggung, tetapi hampa dalam aksi.

Padahal, pesantren bukan institusi biasa. Ia adalah akar peradaban bangsa, sumber moral dan intelektual yang telah menyumbang kepada republik sejak masa penjajahan.

Lantas, mengapa janji dana abadi yang termaktub dalam UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren masih belum menemukan bentuk konkret di lapangan?

Harapan Besar dan Realitas Gelap

Bagi kiai, santri, dan pengelola pesantren, wacana dana abadi menjadi simbol harapan: hadiah lembaga yang selama ini bertahan dari swadaya masyarakat, iuran santri, dan amat sedikit bantuan pemerintah.

Dana abadi ibarat napas panjang bagi pesantren, bukan hanya sekadar penopang kebutuhan sehari-hari—membayar listrik, memberi honor bagi para guru, atau menyediakan kitab untuk para santri.

Lebih dari itu, ia berfungsi sebagai pintu masuk menuju lompatan baru: menghadirkan ruang kelas yang lebih layak, fasilitas yang memadai, serta kualitas pengajaran yang lebih terjamin.

Hal-hal semacam ini sebenarnya telah lama dirindukan, tetapi hampir selalu tertunda karena keterbatasan dana. Dengan adanya dukungan finansial yang berkelanjutan, pesantren tidak lagi hanya bertahan pada taraf minimal, melainkan berpeluang menapaki level mutu pendidikan yang lebih tinggi.

Namun, harapan ini sering kandas ketika retorika politik habis masa gunanya. Tidak jarang, pesantren-pesantren kecil di pelosok tetap berada di garis kemiskinan pendidikan, sementara janji dana tidak pernah ditepati.

Data Kuantitatif sebagai Cermin

Peran pesantren terbukti strategis, bukan hanya tercermin dalam jejak sejarah, melainkan juga terkonfirmasi lewat data kualitatif.

Menurut data Kementerian Agama (Kemenag), jumlah pesantren dan santri di Indonesia sangat besar, tetapi dukungan pendanaan dari pemerintah masih timpang.

Kemenag mencatat, per tahun 2025 terdapat lebih dari empat puluhan ribu pesantren tersebar di 38 provinsi Indonesia.

NU Online mencatat, ada hampir empat juta santri yang menempuh pendidikan di sekitar 25 ribu pesantren di seluruh Indonesia.

Menurut catatan yang sedikit lebih lama, pada tahun 2022-2023, ada sekitar 39 ribuan pesantren dengan total santri lebih dari empat juta orang.

Perbedaan angka ini menunjukkan pentingnya data yang teranyar dan akurat. Namun, yang jelas, jumlah pesantren dan santri di Indonesia adalah massal, melebihi sebagian besar sektor pendidikan formal.

Sayangnya, masalah pendataaan sering dianggap sebagai hal sepele, tidak penting. Padahal, itu merupakan satu titik dari puncak 'gunung es' yang mendera operasional pesantren. Di balik itu terdapat masalah yang besar yakni dunia pesantren kita terpasung oleh absennya sumber dan mekanisme pendanaan yang tetap dan berjangka panjang.

Janji Dana Abadi: Antara Regulasi dan Realitas

Sejak Undang-Undang Pesantren 2019 disahkan, disusul Perpres Nomor 82 Tahun 2021, publik sebenarnya berhak berharap adanya langkah konkret pemerintah dalam membangun dana abadi pesantren.

Secara hukum, kerangka regulasi sudah ada. Namun faktanya, empat tahun berlalu tanpa roadmap, tanpa alokasi anggaran pasti, bahkan tanpa skema investasi yang dapat diuji transparansinya.

Janji politik itu mandek di meja birokrasi, tersandera prioritas pembangunan infrastruktur yang lebih atraktif secara politik.

Kontras dengan LPDP

Nasib ‘dana abadi pesantren’ sangat kontras Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Sejak 2010, LPDP mampu menghimpun aset lebih dari Rp140 triliun dan telah menyalurkan Rp154 triliun dalam bentuk beasiswa dan hibah riset (Antara News, 2025).

Angka tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah sanggup menyiapkan dana abadi jika ada komitmen kuat.

Ironisnya, sejak 2010 hingga kini, tidak ada data resmi yang mencatat secara konsisten jumlah hibah pemerintah khusus untuk dana pesantren.

Namun, situs web resmi Kemenag mencatat pada 2023, pemerintah telah mengalokasikan Rp250 miliar untuk peningkatan kualitas akademik maupun keterampilan praktis santri.

Komitmen ini berlanjut pada 2024 dengan jumlah alokasi yang sama, menandakan upaya pemerintah untuk menghadirkan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam yang adaptif dan berdaya saing di era modern.

Pertanyaannya: mengapa pesantren yang mendidik jutaan santri tidak mendapatkan perlakuan yang sama dengan LPDP? Apakah ini bentuk diskriminasi halus, menempatkan santri sebagai warga kelas dua dalam peta pembangunan?

Jawaban yang selalu diperdengarkan -meski klise- adalah APBN kita terbatas. Jika demikian, apakah solusinya? Solusi mendesak adalah merumuskan skema pendanaan yang tidak bergantung pada satu sumber. APBN harus menjadi fondasi utama sesuai amanat undang-undang.

Di luar itu, pesantren bisa diperkuat dengan filantropi modern: wakaf produktif, zakat, infaq, hingga platform crowdfunding.

Dunia usaha pun bisa dilibatkan melalui CSR, kemitraan strategis, dan investasi syariah. Kombinasi tiga jalur inilah yang dapat menjadikan dana abadi pesantren lebih realistis, profesional, dan tahan terhadap manipulasi politik.

Belajar dari Praktik Dunia

Indonesia sebenarnya punya peluang besar membangun sistem pengelolaan dana abadi (endowment fund) untuk pesantren. Sayangnya, problem utama masih berkutat pada kelembagaan: tidak ada badan pengelola independen dan profesional.

Padahal, di banyak negara Islam, sistem ini sudah lama berjalan dan menjadi penopang pendidikan.

Di Mesir, Universitas Al-Azhar bisa bertahan lebih dari seribu tahun berkat dukungan wakaf produktif. Aset tanah, properti, hingga investasi dikelola oleh lembaga wakaf Al-Azhar sehingga operasional, beasiswa, dan riset tidak bergantung penuh pada subsidi negara (Esposito, Islam and Politics, 2018).

Turki punya contoh berbeda. Sejak era Ottoman, praktik wakaf uang (cash waqf) telah berjalan, lalu diadaptasi dalam bentuk instrumen keuangan syariah modern. Uang wakaf diinvestasikan secara produktif, dan hasilnya dipakai untuk layanan publik mulai dari pendidikan, kesehatan, sampai bantuan sosial (Çizakça, A History of Philanthropic Foundations, 2000).

Bangladesh menunjukkan bagaimana lembaga wakaf uang bisa mendorong pemberdayaan ekonomi umat, membiayai sekolah, dan mengentaskan kemiskinan berbasis komunitas (Esposito, 2018).

Kuwait bahkan lebih terlembaga: sejak 1993, mereka mendirikan Kuwait Awqaf Public Foundation (KAPF) yang mengelola aset wakaf secara modern, lalu hasilnya disalurkan untuk pendidikan, kesehatan, dan program sosial berkelanjutan (Brill, 2022).

Sejarah juga mencatat filantropi lokal di Bengal abad ke-19. Muhammad Mohsin mendirikan Mohsin Fund yang membiayai berdirinya Hooghly Madrasah dan Hooghly Mohsin College—keduanya masih eksis hingga hari ini (Wikipedia, 2024).

Di kawasan Asia Tenggara, Malaysia bisa menjadi rujukan. Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (IIUM) punya IIUM Endowment Fund berbasis wakaf produktif, yang menyalurkan beasiswa dan membangun fasilitas kampus lewat investasi syariah transparan.Universitas besar lain—UKM, UPM, USIM, UTM—juga mengelola dana wakaf untuk riset, beasiswa, hingga infrastruktur pendidikan (Business and Management Horizons, 2023).

Kalau menoleh ke Barat, praktik dana abadi jauh lebih mapan. Harvard dan Yale mengelola dana abadi puluhan miliar dolar, ditanam di sektor finansial, properti, teknologi, sampai energi terbarukan. Hasilnya menopang pendidikan dan riset jangka panjang (Brill, 2022).

Berbagai contoh ini memperlihatkan satu hal: Indonesia tidak kekurangan model. Yang dibutuhkan hanyalah manajemen kelembagaan yang profesional—wakaf produktif, filantropi modern, dan tata kelola transparan.

Jika dijalankan, dana abadi pesantren bisa menjadi mesin penggerak pendidikan Islam, bukan sekadar jargon politik.

Dari Retorika ke Aksi Nyata

Perlu dicatat, gagasan dana abadi pesantren tidak boleh berhenti sebagai retorika politik. Ia harus diterjemahkan dalam langkah nyata yang sistematis.

Pertama, pemerintah perlu segera menyiapkan aturan teknis yang jelas, baik melalui Peraturan Presiden maupun Peraturan Pemerintah, agar pelaksanaan dana abadi memiliki dasar operasional yang pasti.

Kedua, dibutuhkan sebuah badan pengelola khusus yang berfungsi mirip dengan LPDP. Lembaga ini harus dikelola oleh manajer investasi profesional dengan standar akuntabilitas publik yang ketat. Dengan begitu, dana abadi pesantren dapat tumbuh secara berkelanjutan.

Ketiga, sumber dana tidak boleh hanya bertumpu pada APBN. Model pembiayaan bisa diperluas melalui integrasi wakaf produktif, zakat, infaq, filantropi digital, hingga kemitraan strategis dengan pihak swasta. Diversifikasi ini akan membuat dana abadi lebih kokoh dan tidak mudah terguncang oleh situasi fiskal negara.

Keempat, sistem distribusi dana harus adil. Penyaluran perlu menjangkau pesantren kecil di pelosok, bukan hanya pesantren besar yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan. Prinsip keadilan sosial menjadi roh dari implementasi ini.

Kelima, transparansi menjadi syarat mutlak. Seluruh laporan keuangan sebaiknya berbasis digital dan terbuka untuk publik, serta diaudit secara independen dan berkala. Dengan mekanisme ini, kepercayaan masyarakat bisa terjaga.

Terakhir, pesantren sendiri tidak bisa bersikap pasif. Mereka perlu proaktif menggalang dana mandiri, membangun jaringan alumni, dan menjalin kerja sama dengan dunia usaha. Partisipasi aktif ini akan memperkuat posisi pesantren sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar penerima bantuan.

Jika kombinasi langkah-langkah tersebut dijalankan, maka dana abadi pesantren bisa benar-benar keluar dari jebakan jargon politik lima tahunan dan tampil sebagai instrumen nyata bagi transformasi pendidikan Islam di Indonesia.

Mandat Konstitusi, Bukan Komoditas Politik

Sejatinya, dana abadi pesantren bukanlah sekadar “bonus politik” yang dijanjikan tiap pemilu. Ia adalah mandat Undang-Undang, sekaligus bentuk penghormatan negara terhadap kontribusi pesantren bagi republik ini.

Jika dibiarkan sebatas slogan, maka pemerintah sedang mempermainkan sejarah, sekaligus mengabaikan peran santri yang selama berabad-abad menjadi penopang moral bangsa.

Itu bukan sekadar kelalaian, melainkan sebuah pengkhianatan terhadap sejarah, sekaligus penyangkalan terhadap generasi masa depan bangsa Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement